Dr. Chairul Huda, SH., MH.
Ahli
Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Pemberantasan tindak
pidana korupsi masih selalu menarik untuk diperbincangkan, karena disana sini
diliputi oleh berbagai kontraversi.
Misalnya, baru-baru ini perhatian masyarakat Indonesia tersita (bahkan konon menarik perhatian
masyarakat dunia) oleh hingar bingar penanganan kasus dugaan korupsi
Bibit-Candra. Semua pihak ikut berkomentar, mulai dari tukang-tukang becak,
sopir angkot, ibu rumah tangga, Anggota DPR, para Advokad dan pakar hukum,
sampai kemudian Presiden RI juga ikut bicara. Masing-masing mempunyai versi
pandangan, yang bukan hal yang aneh apabila diantaranya saling bertolak
belakang secara ekstrim.
Pada kesempatan ini penulis tidak ingin lebih
jauh menyoal “perdebatan” kasus “tersangka non aktif” Bibit dan Candra,
tetapi membicarakan hal lain dari pemberantasan tindak pidana korupsi, yang
sekalipun tidak banyak mengundang kontraversi tetapi cukup menyita perhatian. Kajian ini memusat
pada persoalan-persoalan berkenaan dengan penjatuhannya dalam
proses peradilan dan terkait hukum pelaksanaan pidana, khususnya pelaksanaan pidana
tambahan berupa “pembayaran uang pengganti”.
Persoalan ini menjadi penting mengingat paling tidak dua alasan.
Pertama, kedudukan pidana pembayaran uang pengganti
sebagai “lembaga baru” dalam sistem hukum pidana Indonesia, menyebabkan masih sangat sedikit
pengaturannya. Bahkan dapat dikatakan mengalami kekosongan pengaturan (regelsvacuum), sehingga memerlukan
“manuver interpretasi” ketentuan yang ada.
Kedua, fokus pengaturan dalam
hukum korupsi selama ini tertuju pada masalah hukum materiel (hukum pidana
substantif) dan hukum formielnya (hukum acara pidana). Sementara itu, masalah
hukum pelaksanaan pidananya kerapkali terlupakan.
Khusus berkenaan dengan jenis-jenis pidana
yang terdapat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan juga
terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seperti Pidana Mati,
Pidana Penjara dan Denda, berdasarkan pada ketentuan Pasal 103 KUHP,
pelaksanaan pidananya tentunya tetap merujuk pada ketentuan-ketentuan
pelaksanaan pidana yang diatur dalam KUHP dan peraturan
perundang-undangan khusus yang diadakan untuk itu. Misalnya, dalam pelaksanaan
pidana mati merujuk pada ketentuan Undang-Undang (Penetapan Presiden) No. 2
Tahun 1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh
Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer. Pelaksanaan pidana penjara
meneladan pada Pasal 12 sampai dengan Pasal 17 KUHP, Pasal 24 sampai dengan
Pasal 29 KUHP dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
Pelaksanaan pidana denda mengacu pada Pasal 30 dan Pasal 31 KUHP. Namun
demikian, jenis pidana yang lain yang
tidak terdapat dalam Pasal 10 KUHP, seperti pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti, kerap
terlupakan pengaturan pelaksanaannya. Seakan-akan jenis pidana ini diadakan,
tetapi dengan pengaturan yang sifatnya
“non executable”. Apabila hal
itu memang menjadi criminal policy
mengenai pemberantasan korupsi, tentunya
menjadi “kebijakan kriminal” dalam arti harfiahnya.
-----
Pidana tambahan pembayaran uang
pengganti adalah salah satu pidana tambahan yang bersifat khusus, yang dapat
diterapkan dalam perkara tindak pidana korupsi selain pidana tambahan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 KUHP. Pidana tambahan pembayaran uang
pengganti ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 31 tahun
1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang menentukan:
“Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan
harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi”.
Kata-kata “yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi” mengindikasikan bahwa hanya terdakwa yang
benar-benar memperoleh kekayaan dan/atau keuntungan dari keuangan negara atau
perekonomian negara sebagai akibat perbuatan melawan hukum dan/atau
penyalahgunaan kewenangan, sarana dan kesempatan yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan, yang dapat dijatuhi pidana tambahan ini. Tegasnya, pidana tambahan pembayaran uang pengganti
hanya dapat dijatuhkan terhadap terdakwa yang “memperkaya diri sendiri” atau
“menguntungkan diri sendiri”, karena dalam kejadian inilah seseorang memperoleh
kekayaan atau keuntungan dari tindak pidana korupsi. Sedangkan orang yang
”memperkaya/menguntungkan orang lain atau korporasi” tidak dapat dijatuhi
pidana tambahan pembayaran uang pengganti karena sebenarnya tidak “memperoleh”
kekayaan dan/atau keuntungan dari tindak pidana korupsi, kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya.
Dalam beberapa
kasus Penuntut Umum mendakwa mereka yang tidak “memperoleh” kekayaan/keuntungan
dari tindak pidana korupsi dengan Pasal 18 ayat 1) huruf b Undang-Undang No.31
tahun 1999, yang sebenarnya jika dicermati mengakibatkan “tidak terbuktinya
dakwaan tersebut” karena salah satu unsur dakwaan tidak dapat dibuktikan,
sehingga Pasal 191 ayat (1) KUHAP dapat diterapkan.
Saya
menemukan cukup banyak putusan pengadilan yang menurut saya “aneh” mengenai
penjatuhan pidana tambahan. Mulai dari “putusan Abdullah Puteh” yang
menjatuhkan pidana pembayaran uang pengganti seharga helikopter yang
dipersoalkan, sehingga “tidak jelas”
barang tersebut sekarang milik siap, apakah milik Pemda NAD atau milik
terpidana, sampai terakhir ini putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
970/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel. tgl 04 Nopember 2009, yang dalam pertimbangan
hukumnya memandang unsur “memperkaya diri sendiri” terbukti, karena yang
bersangkutan menerima “gaji imbalannya
setiap bulan sebagai Direktur Utama PT SRD dari tahun 2000 sampai dengan Nopember 2008 menurut perhitungan Majelis
sebesar Rp. 3.560.101.800” (putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
970/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel. tgl 04 Nopember 2009 hlm. 278), yang idemdito dengan amar putusan
keempat yang menghukum terdakwa tersebut
untuk membayar jumlah yang sama paling
lambat 1(bulan) setelah putusan berkekuatan hukum tetap, yang disubsidiairkan
dengan penyitaan harta kekayaannya atau pidana penjara pengganti selama 1
(satu) tahun (Ibid. hlm. 292).
Bayangkan,
hak seseorang berupa gaji sebagai Direksi
Perseroan Terbatas yang diperoleh sah, yang dilindungi oleh Konstitusi (Pasal
28D ayat (2) UUD NRI 1945) dan
Undang-Undang Perseroan Terbatas (Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun
2007) dan lebih jauh lagi juga mendapat
perlindungan dari segi ketenagakerjaan (Pasal 1 angka 30 jo Pasal 88 ayat (1)
UU No. 13 Tahun 2003), dapat dirampas
oleh negara melalui Pengadilan berupa pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Dalam hal mana putusan tersebut tidak
mengkualifikasikan terlebih dahulu bahwa
pengangkatan yang bersangkutan sebagai Direksi PT SRD adalah sebagai
suatu perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi. Padahal “melawan
hukum” dalam Pasal 2 ayat (1) yang tertera dalam Dakwaan Ketiga yang dipandang
terbukti dalam hal ini adanya unsur nyata atau bagian inti delik (bestanddeel delic) yang harus
dibuktikan oleh Penuntut Umum dan mempunyai hubungan kausalitas dengan
perbuatan “memperkaya diri sendiri” yang menjadi dasar penentuan besarnya pembayaran uang pengganti yang dapat
dijatuhkan.
Pada
hakekatnya gaji yang diterima seseorang, apakah sebagai seorang Direksi suatu
Perseroan Terbatas ataukah sebagai buruh pabrik garmen sekalipun, bukan
semata-mata menjadi hak yang bersangkutan, tetapi menjadi hak keluarganya,
anak-anak dan istri yang menerima gaji tersebut. Konstitusi menentukan setiap
seseorang yang bekerja berhak menerima “imbalan”, Undang-Undang Perseroan
Terbatas menggunakan nomenklatuur “gaji dan tunjangan” terhadap hal yang sama
bagi Direksi, dan Undang-Undang Ketenagakerjaan menggunakan istilah “upah”, yang
kesemua merujuk kepada penerimaan berupa uang bagi yang bersangkutan dan
keluarganya. Dengan demikian Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan dengan putusannya No. 970/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel. tgl 04
Nopember 2009, bukan hanya menjatuhkan pidana bagi Terdakwa dalam perkara
tersebut, tetapi juga menjatuhkan pidana bagi istri dan anak-anaknya, yang
sebenarnya tidak pernah didudukkan sebagai terdakwa, diperiksa,diadili dan
diputus dalam tindak pidana korupsi. Amar
pembayaran uang pengganti dalam
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 970/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel. tgl 04
Nopember 2009, “telah merampas hak-hak hakiki” dari seseorang yang membaktikan
diri untuk keluarganya.
Yang
lebih nyeleneh lagi, Majelis Hakim,
yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut, “menghitung sendiri” besarnya uang yang
diperoleh terdakwa dari tindak pidana korupsi ini, yang ternyata dari kata-kata
“menurut perhitungan Majelis”, yang notabene hal itu tidak pernah diamanatkan
undang-undang maupun didakwakan dan dituntut oleh Penuntut Umum. Majelis Hakim
perkara tersebut mengambilalih sekaligus tugas dan kewenangan pemnetuk
undang-undang,lembaga auditor, penyidik dan penuntut umum sekaligus, yang bukan
saja tidak demokratis karena memegang kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif sekaligus, tetapi juga telah merampas hak hakiki seseorang, sehingga
Majelis Hakim tersebut telah “playing of
God”. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
970/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel. tgl 04 Nopember 2009 bukan hanya tidak yudiris,
tetapi juga tidak dapat diterima dalam logika umum masyarakat awam sekalipun.
----
Pembentuk undang-undang menentukan untuk dapat
“memaksakan” pelaksanaan pidana tambahan pembayaran Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
menentukan dua mekanisme yang bersifat alternatif:
Kesatu, jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling
lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut.
Kedua, dalam hal
terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang
pengganti maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi
ancaman maksimum dari pidana pokoknya dan lamanya pidana tersebut sudah
ditentukan dalam putusan pengadilan.
Alternatif
pertama memungkinkan terjadinya “pilihan” bagi terpidana, apakah akan membayar
uang pengganti atau tidak. Tenggang waktu yang diberikan undang-undang selama 1
(satu) bulan untuk membayar uang pengganti menunjukkan bahwa terpidana punya
pilihan untuk membayar atau tidak membayar uang pengganti tersebut. Apabila
terpidana memilih untuk tidak membayar uang pengganti, maka upaya-upaya
bersifat keperdataan berupa penyitaan (sita eksekusi), sebagaimana dimaksud
Pasal 196-200 RIB, dapat dilakukan Jaksa untuk membuat Terpidana membayar uang
pengganti tersebut.
Kata-kata “dapat disita” dalam Pasal 18 ayat (2)
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tidak sama pengertiannya dengan
“penyitaan” sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 16 KUHAP atau Pasal 12 huruf h dan i dan Pasal 47 Undang-Undang
No. 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apabila
diperhatikan dengan seksama, “penyitaan” tersebut selalu dalam kerangka
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, sehingga hal ini berada dalam rezim
Hukum Acara Pidana. Sementara kata-kata “dapat disita” adalah penyitaan dalam
rangka pelaksanaan putusan, sehingga berada dalam rezim Hukum Pelaksanaan Pidana.
Mengingat hukum pidana (Hukum Pelaksanaan Pidana) tidak
mengenal pengertian “penyitaan” dalam pelaksanaan putusan, dan
memperhatikan Pasal 19 Undang-Undang No.
31 tahun 1999, yang memberikan perlindungan kepada pihak ketiga yang mempunyai
itikad baik yang kekayaannya turut disita dalam rangka pembayaran uang
pengganti, untuk mengajukan “keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan”,
yang dalam mekanisme keperdataan lazim disebut “bantahan” (derden verzet), sehingga pengertian kata-kata “dapat disita”
disini, adalah sama dan sebangun dengan pengertian sita eksekutorial dalam
Hukum Acara Perdata. Dengan demikian, penyitaan dalam rangka pelaksanaan
pembayaran uang pengganti harus melalui permohonan sita kepada Pengadilan
Negeri dimaksud, sehingga perlindungan terhadap pihak ketiga tetap mendapat
tempat dalam mekanisme ini.
Prakteknya justru menunjukkan gejala yang “aneh”. Dalam
beberapa kasus KPK melakukan “sita” secara langsung. KPK mendatangani Terpidana
untuk kemudian diminta menandatangani semacam Berita Acara, yang
didalamnya menyebutkan sejumlah harta
kekayaan yang “disita”. Pada kesempatan lain KPK mengumumkan di media massa dan
menyatakan sejumlah kekayaan seorang terpidana dan dinyatakan “disita”. Dikatakan
“aneh”, terpidana yang masih “ditutup” di Lembaga Pemasyarakatan sebenarnya
tidak “menguasai” harta kekayaan yang disita tersebut. Prinsip “penyitaan”
dalam acara pidana atau melakukan “sita” (beslag)
sama-sama menempatkan dalam penguasaan negara (penegak hukum) suatu obyek hukum
tertentu yang sebelumnya dikuasai tersita. Sama sekali tidak dapat disita dari
seseorang sesuatu yang tidak dikuasai seseorang.
Praktek sita
secara langsung seperti ini tidak ubahnya sebagai tindakan “merampas hak/barang
seseorang”, yang dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Menjadi tidak
“lucu” jika suatu saat (oknum) aparat penegak hukum (misalnya Jaksa pada KPK)
dituntut pidana dan/atau digugat perdata, cuma karena tidak mengerti bagaimana
menggunakan ketentuan dalam undang-Undag Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
tersebut.
Prosedur “sita”
dalam pelaksanaan pidana pembayaran uang pengganti merupakan penempatan
mekanisme keperdataan dalam rezim hukum pidana, yang sebenarnya bukan hal yang
asing terutama dengan diterimanya mekanisme serupa dalam United Nations Convention Against Corruption 2003, yang telah
diratifikasi dengan Undang-Undang No. 7 tahun 2006.
Alternatif kedua merupakan “jalan keluar” apabila
terpidana tidak mempunyai harta kekayaan
yang cukup untuk membayar uang pengganti. Dalam hal ini terpidana dapat dikenakan
pidana penjara pengganti yang ditetapkan dalam keputusan tersebut. Kata-kata
“terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi” dalam ketentuan ini
berarti berdasarkan penilaian Jaksa Eksekutor, terpidana tidak mempunyai cukup
harta untuk disita dan dilelang dalam rangka pembayaran uang penggantinya.
Dengan demikian, hal ini tidak berarti setelah penyitaan dan pelelangan
ternyata tidak terdapat harta kekayaan yang cukup untuk membayar uang
pengganti, maka terpidana akan melaksanakan pidana penjara pengganti.
Hal yang terakhir ini merupakan pemidanaan ganda (double penalty) yang tidak
dapat dibenarkan secara hukum dan karenanya
harus dihindari dalam
melaksanakan putusan pembayaran uang pengganti. Apabila kata-kata
“terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi” diartikan sebagai harta
kekayaan setelah penyitaan dan pelelangan, maka akan
terjadi double penalty yang tidak
dapat dibenarkan secara hukum karena seorang terpidana akan disita kekayaannya
dan sekaligus menjalani pidana penjara pengganti.
-----
Pidana pokok dapat dieksekusi ketika
pidana telah dapat dijalankan, sedangkan pidana tambahan, termasuk
susidiairitasnya, hanya dapat dilakukan ketika putusan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Demikian pula halnya, pidana tambahan berupa pembayaran
uang pengganti hanya dapat dilaksanakan setelah putusan berkekuatan hukum
tetap, sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999.
Dengan demikian, apabila pidana pokok dilaksanakan ketika putusan telah dapat
dijalankan dan pada waktu telah berakhirnya pelaksanaan pidana pokok (pidana penjara) putusan belum berkekuatan
hukum tetap, maka pidana tambahan pembayaran uang pengganti, termasuk
subsidiairitasnya (penyitaan atau pidana penjara pengganti) belum dapat
dilaksanakan. Oleh karena itu, sekalipun ternyata tidak terdapat kemampuan untuk
membayar uang pengganti atau tidak terdapat kekayaan yang dapat disita kelak
jika hal itu tidak dibayar, maka yang bersangkutan harus tetap dikeluarkan demi
hukum karena pidana penjara pengganti belum dapat dilaksanakan sampai putusan
berkekuatan hukum tetap.
Sebaliknya, dalam
hal putusan telah berkekuatan hukum tetap dan terpidana tidak mempunyai cukup
harta untuk membayar uang pengganti, maka pelaksanaan pidana pokok (pidana
penjara) dan pidana penjara pengganti adalah merupakan satu kesatuan, maka terpidana wajib melaksanakan pidana penjara
pengganti tersebut. Dalam hal Jaksa Eksekutor berpandangan bahwa terpidana
tidak mempunyai harta kekayaan yang cukup yang dapat disita dan dilelang untuk
membayar uang pengganti, sehingga terpidana wajib menjalani pidana penjara
pengganti tersebut, maka penyitaan tidak
dapat lagi dilakukan.
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi tidak menentukan
apakah pidana penjara pengganti yang
telah dilaksanakan (sebagian) oleh Terpidana dapat diperhitungkan dengan
pembayaran uang pengganti yang harus dibayar terpidana. Namun demikian, “model”
penyetaraan antara pembayaran uang pengganti dan pelaksanaan pidana penjara
pengganti dimungkinkan dalam Rancangan
KUHP (dalam hal ini Denda dan Kurungan Pengganti Denda). Dengan demikian,
sepanjang “telah terlanjur” dilaksanakan secara sekaligus pidana penjara
pengganti dan pembayaran uang pengganti, maka untuk menghindari double penalty, hal itu dapat
diperhitungkan secara proporsional.
Terakhir,
bagaimana hubungan pidana penjara pengganti dengan hak-hak narapidana
yang lain, inipun menimbulkan persoalan. Pidana
penjara pengganti adalah subsidiairitas pidana tambahan pembayaran uang
pengganti. Sementara itu, remisi adalah hak seorang terpidana untuk mendapatkan
pengurangan hukuman berdasarkan peraturan
perundang-undangan, yang menjadi kewenangan eksekutif (Presiden, cq Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia, cq Direktorat Jenderal Pemasyarakatan). Dengan
demikian, terhadap terpidana yang menjalani pidana penjara pengganti juga dapat
memperoleh remisi, karena hal itu merupakan kewenangan eksekutif, dan tidak ada
hubungannya dengan bentuk pidananya (pidana penjara pengganti) yang menjadi
kewenangan yudikatif.