10 Juni 2015

MENYOAL PIDANA TAMBAHAN “PEMBAYARAN UANG PENGGANTI” DALAM PERKARA KORUPSI


Dr. Chairul Huda, SH., MH.
Ahli Hukum Pidana Fakultas Hukum
 Universitas Muhammadiyah Jakarta

Pemberantasan tindak pidana korupsi masih selalu menarik untuk diperbincangkan, karena disana sini diliputi oleh berbagai kontraversi. Misalnya, baru-baru ini perhatian masyarakat Indonesia  tersita (bahkan konon menarik perhatian masyarakat dunia) oleh hingar bingar penanganan kasus dugaan korupsi Bibit-Candra. Semua pihak ikut berkomentar, mulai dari tukang-tukang becak, sopir angkot, ibu rumah tangga, Anggota DPR, para Advokad dan pakar hukum, sampai kemudian Presiden RI juga ikut bicara. Masing-masing mempunyai versi pandangan, yang bukan hal yang aneh apabila diantaranya saling bertolak belakang secara ekstrim.

Pada kesempatan ini penulis tidak ingin lebih jauh menyoalperdebatankasus tersangka non aktif” Bibit dan Candra, tetapi membicarakan hal lain dari pemberantasan tindak pidana korupsi, yang sekalipun tidak banyak mengundang kontraversi tetapi cukup menyita perhatian. Kajian ini memusat pada persoalan-persoalan berkenaan dengan penjatuhannya dalam proses peradilan dan terkait hukum pelaksanaan pidana, khususnya pelaksanaan pidana tambahan berupa “pembayaran uang pengganti”. Persoalan ini menjadi penting mengingat paling tidak dua alasan.


Pertama,   kedudukan pidana pembayaran uang pengganti sebagai “lembaga baru” dalam sistem hukum pidana Indonesia,  menyebabkan masih sangat sedikit pengaturannya. Bahkan dapat dikatakan mengalami kekosongan pengaturan (regelsvacuum), sehingga memerlukan “manuver interpretasi” ketentuan yang ada.

Kedua, fokus pengaturan dalam hukum korupsi selama ini tertuju pada masalah hukum materiel (hukum pidana substantif) dan hukum formielnya (hukum acara pidana). Sementara itu, masalah hukum pelaksanaan pidananya kerapkali terlupakan.

Khusus berkenaan dengan jenis-jenis pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan juga terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seperti Pidana Mati, Pidana Penjara dan Denda, berdasarkan pada ketentuan Pasal 103 KUHP, pelaksanaan pidananya tentunya tetap merujuk pada ketentuan-ketentuan pelaksanaan pidana yang diatur dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan khusus yang diadakan untuk itu. Misalnya, dalam pelaksanaan pidana mati merujuk pada ketentuan Undang-Undang (Penetapan Presiden) No. 2 Tahun 1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer. Pelaksanaan pidana penjara meneladan pada Pasal 12 sampai dengan Pasal 17 KUHP, Pasal 24 sampai dengan Pasal 29 KUHP dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Pelaksanaan pidana denda mengacu pada Pasal 30 dan Pasal 31 KUHP. Namun demikian, jenis pidana yang  lain yang tidak terdapat dalam Pasal 10 KUHP, seperti pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti, kerap terlupakan pengaturan pelaksanaannya. Seakan-akan jenis pidana ini diadakan, tetapi dengan pengaturan yang sifatnya  “non executable”. Apabila hal itu memang menjadi criminal policy mengenai pemberantasan korupsi, tentunya  menjadi “kebijakan kriminal” dalam arti harfiahnya.
-----

Pidana tambahan pembayaran uang pengganti adalah salah satu pidana tambahan yang bersifat khusus, yang dapat diterapkan dalam perkara tindak pidana korupsi selain pidana tambahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 KUHP. Pidana tambahan pembayaran uang pengganti ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang menentukan:

“Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi”.

Kata-kata “yang diperoleh dari tindak pidana korupsi” mengindikasikan bahwa hanya terdakwa yang benar-benar memperoleh kekayaan dan/atau keuntungan dari keuangan negara atau perekonomian negara sebagai akibat perbuatan melawan hukum dan/atau penyalahgunaan kewenangan, sarana dan kesempatan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang dapat dijatuhi pidana tambahan ini.  Tegasnya, pidana tambahan pembayaran uang pengganti hanya dapat dijatuhkan terhadap terdakwa yang “memperkaya diri sendiri” atau “menguntungkan diri sendiri”, karena dalam kejadian inilah seseorang memperoleh kekayaan atau keuntungan dari tindak pidana korupsi. Sedangkan orang yang ”memperkaya/menguntungkan orang lain atau korporasi” tidak dapat dijatuhi pidana tambahan pembayaran uang pengganti karena sebenarnya tidak “memperoleh” kekayaan dan/atau keuntungan dari tindak pidana korupsi, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

Dalam beberapa kasus Penuntut Umum mendakwa mereka yang tidak “memperoleh” kekayaan/keuntungan dari tindak pidana korupsi dengan Pasal 18 ayat 1) huruf b Undang-Undang No.31 tahun 1999, yang sebenarnya jika dicermati mengakibatkan “tidak terbuktinya dakwaan tersebut” karena salah satu unsur dakwaan tidak dapat dibuktikan, sehingga Pasal 191 ayat (1) KUHAP dapat diterapkan.
Saya menemukan cukup banyak putusan pengadilan yang menurut saya “aneh” mengenai penjatuhan pidana tambahan. Mulai dari “putusan Abdullah Puteh” yang menjatuhkan pidana pembayaran uang pengganti seharga helikopter yang dipersoalkan, sehingga   “tidak jelas” barang tersebut sekarang milik siap, apakah milik Pemda NAD atau milik terpidana, sampai terakhir ini putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 970/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel. tgl 04 Nopember 2009, yang dalam pertimbangan hukumnya memandang unsur “memperkaya diri sendiri” terbukti, karena yang bersangkutan menerima “gaji imbalannya setiap bulan sebagai Direktur Utama PT SRD dari tahun 2000 sampai dengan Nopember 2008 menurut perhitungan Majelis sebesar Rp. 3.560.101.800” (putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 970/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel. tgl 04 Nopember 2009 hlm. 278), yang idemdito dengan amar putusan keempat  yang menghukum terdakwa tersebut untuk membayar  jumlah yang sama paling lambat 1(bulan) setelah putusan berkekuatan hukum tetap, yang disubsidiairkan dengan penyitaan harta kekayaannya atau pidana penjara pengganti selama 1 (satu) tahun (Ibid. hlm. 292).

Bayangkan, hak seseorang berupa gaji sebagai  Direksi Perseroan Terbatas yang diperoleh sah, yang dilindungi oleh Konstitusi (Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945)  dan Undang-Undang Perseroan Terbatas (Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007) dan lebih jauh lagi juga  mendapat perlindungan dari segi ketenagakerjaan (Pasal 1 angka 30 jo Pasal 88 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003),  dapat dirampas oleh negara melalui Pengadilan berupa pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Dalam hal mana putusan tersebut tidak mengkualifikasikan terlebih dahulu bahwa  pengangkatan yang bersangkutan sebagai Direksi PT SRD adalah sebagai suatu perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi. Padahal “melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat (1) yang tertera dalam Dakwaan Ketiga yang dipandang terbukti dalam hal ini adanya unsur nyata atau bagian inti delik (bestanddeel delic) yang harus dibuktikan oleh Penuntut Umum dan mempunyai hubungan kausalitas dengan perbuatan “memperkaya diri sendiri” yang menjadi dasar penentuan besarnya pembayaran uang pengganti yang dapat dijatuhkan.  

Pada hakekatnya gaji yang diterima seseorang, apakah sebagai seorang Direksi suatu Perseroan Terbatas ataukah sebagai buruh pabrik garmen sekalipun, bukan semata-mata menjadi hak yang bersangkutan, tetapi menjadi hak keluarganya, anak-anak dan istri yang menerima gaji tersebut. Konstitusi menentukan setiap seseorang yang bekerja berhak menerima “imbalan”, Undang-Undang Perseroan Terbatas menggunakan nomenklatuur  “gaji dan tunjangan” terhadap hal yang sama bagi Direksi, dan Undang-Undang Ketenagakerjaan menggunakan istilah “upah”, yang kesemua merujuk kepada penerimaan berupa uang bagi yang bersangkutan dan keluarganya.  Dengan demikian Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan putusannya No. 970/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel. tgl 04 Nopember 2009, bukan hanya menjatuhkan pidana bagi Terdakwa dalam perkara tersebut, tetapi juga menjatuhkan pidana bagi istri dan anak-anaknya, yang sebenarnya tidak pernah didudukkan sebagai terdakwa, diperiksa,diadili dan diputus dalam tindak pidana korupsi. Amar  pembayaran uang pengganti dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 970/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel. tgl 04 Nopember 2009, “telah merampas hak-hak hakiki” dari seseorang yang membaktikan diri untuk keluarganya.

Yang lebih nyeleneh lagi, Majelis Hakim, yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut,  “menghitung sendiri” besarnya uang yang diperoleh terdakwa dari tindak pidana korupsi ini, yang ternyata dari kata-kata “menurut perhitungan Majelis”,  yang notabene hal itu tidak pernah diamanatkan undang-undang maupun didakwakan dan dituntut oleh Penuntut Umum. Majelis Hakim perkara tersebut mengambilalih sekaligus tugas dan kewenangan pemnetuk undang-undang,lembaga auditor, penyidik dan penuntut umum sekaligus, yang bukan saja tidak demokratis karena memegang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif sekaligus, tetapi juga telah merampas hak hakiki seseorang, sehingga Majelis Hakim tersebut telah “playing of God”.    Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 970/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel. tgl 04 Nopember 2009 bukan hanya tidak yudiris, tetapi juga tidak dapat diterima dalam logika umum masyarakat awam sekalipun.

----

Pembentuk undang-undang menentukan untuk dapat “memaksakan” pelaksanaan pidana tambahan pembayaran  Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menentukan dua mekanisme yang bersifat alternatif:

Kesatu, jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Kedua,  dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.  

Alternatif pertama memungkinkan terjadinya “pilihan” bagi terpidana, apakah akan membayar uang pengganti atau tidak. Tenggang waktu yang diberikan undang-undang selama 1 (satu) bulan untuk membayar uang pengganti menunjukkan bahwa terpidana punya pilihan untuk membayar atau tidak membayar uang pengganti tersebut. Apabila terpidana memilih untuk tidak membayar uang pengganti, maka upaya-upaya bersifat keperdataan berupa penyitaan (sita eksekusi), sebagaimana dimaksud Pasal 196-200 RIB, dapat dilakukan Jaksa untuk membuat Terpidana membayar uang pengganti tersebut.

Kata-kata “dapat disita” dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tidak sama pengertiannya dengan “penyitaan”   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP atau Pasal 12 huruf h dan i dan Pasal 47 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apabila diperhatikan dengan seksama, “penyitaan” tersebut selalu dalam kerangka penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, sehingga hal ini berada dalam rezim Hukum Acara Pidana. Sementara kata-kata “dapat disita” adalah penyitaan dalam rangka pelaksanaan putusan, sehingga berada dalam rezim Hukum Pelaksanaan Pidana.

Mengingat hukum pidana (Hukum Pelaksanaan Pidana) tidak mengenal pengertian “penyitaan” dalam pelaksanaan putusan, dan memperhatikan  Pasal 19 Undang-Undang No. 31 tahun 1999, yang memberikan perlindungan kepada pihak ketiga yang mempunyai itikad baik yang kekayaannya turut disita dalam rangka pembayaran uang pengganti, untuk mengajukan “keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan”, yang dalam mekanisme keperdataan lazim disebut “bantahan” (derden verzet), sehingga pengertian kata-kata “dapat disita” disini, adalah sama dan sebangun dengan pengertian sita eksekutorial dalam Hukum Acara Perdata. Dengan demikian, penyitaan dalam rangka pelaksanaan pembayaran uang pengganti harus melalui permohonan sita kepada Pengadilan Negeri dimaksud, sehingga perlindungan terhadap pihak ketiga tetap mendapat tempat dalam mekanisme ini.

Prakteknya justru menunjukkan gejala yang “aneh”. Dalam beberapa kasus KPK melakukan “sita” secara langsung. KPK mendatangani Terpidana untuk kemudian diminta menandatangani semacam Berita Acara, yang didalamnya  menyebutkan sejumlah harta kekayaan yang “disita”. Pada kesempatan lain KPK mengumumkan di media massa dan menyatakan sejumlah kekayaan seorang terpidana dan dinyatakan “disita”. Dikatakan “aneh”, terpidana yang masih “ditutup” di Lembaga Pemasyarakatan sebenarnya tidak “menguasai” harta kekayaan yang disita tersebut. Prinsip “penyitaan” dalam acara pidana atau melakukan “sita” (beslag) sama-sama menempatkan dalam penguasaan negara (penegak hukum) suatu obyek hukum tertentu yang sebelumnya dikuasai tersita. Sama sekali tidak dapat disita dari seseorang sesuatu yang tidak dikuasai seseorang.

Praktek  sita secara langsung seperti ini tidak ubahnya sebagai tindakan “merampas hak/barang seseorang”, yang dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Menjadi tidak “lucu” jika suatu saat (oknum) aparat penegak hukum (misalnya Jaksa pada KPK) dituntut pidana dan/atau digugat perdata, cuma karena tidak mengerti bagaimana menggunakan ketentuan dalam undang-Undag Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut.

 Prosedur “sita” dalam pelaksanaan pidana pembayaran uang pengganti merupakan penempatan mekanisme keperdataan dalam rezim hukum pidana, yang sebenarnya bukan hal yang asing terutama dengan diterimanya mekanisme serupa dalam United Nations Convention Against Corruption 2003, yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang No. 7 tahun 2006. 

Alternatif kedua merupakan “jalan keluar” apabila terpidana tidak mempunyai  harta kekayaan yang cukup untuk membayar uang pengganti. Dalam hal ini terpidana dapat dikenakan pidana penjara pengganti yang ditetapkan dalam keputusan tersebut. Kata-kata “terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi” dalam ketentuan ini berarti berdasarkan penilaian Jaksa Eksekutor, terpidana tidak mempunyai cukup harta untuk disita dan dilelang dalam rangka pembayaran uang penggantinya. Dengan demikian, hal ini tidak berarti setelah penyitaan dan pelelangan ternyata tidak terdapat harta kekayaan yang cukup untuk membayar uang pengganti, maka terpidana akan melaksanakan pidana penjara pengganti.

Hal yang terakhir ini merupakan pemidanaan ganda (double penalty)  yang tidak dapat dibenarkan secara hukum dan karenanya  harus dihindari dalam  melaksanakan putusan pembayaran uang pengganti. Apabila kata-kata “terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi” diartikan sebagai harta kekayaan setelah penyitaan dan pelelangan, maka akan terjadi double penalty yang tidak dapat dibenarkan secara hukum karena seorang terpidana akan disita kekayaannya dan sekaligus menjalani pidana penjara pengganti.

-----

Pidana pokok dapat dieksekusi ketika pidana telah dapat dijalankan, sedangkan pidana tambahan, termasuk susidiairitasnya, hanya dapat dilakukan ketika putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Demikian pula halnya, pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti hanya dapat dilaksanakan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Dengan demikian, apabila pidana pokok dilaksanakan ketika putusan telah dapat dijalankan dan pada waktu telah berakhirnya pelaksanaan pidana pokok  (pidana penjara) putusan belum berkekuatan hukum tetap, maka pidana tambahan pembayaran uang pengganti, termasuk subsidiairitasnya (penyitaan atau pidana penjara pengganti) belum dapat dilaksanakan. Oleh karena itu,  sekalipun  ternyata tidak terdapat kemampuan untuk membayar uang pengganti atau tidak terdapat kekayaan yang dapat disita kelak jika hal itu tidak dibayar, maka yang bersangkutan harus tetap dikeluarkan demi hukum karena pidana penjara pengganti belum dapat dilaksanakan sampai putusan berkekuatan hukum tetap.

Sebaliknya, dalam hal putusan telah berkekuatan hukum tetap dan terpidana tidak mempunyai cukup harta untuk membayar uang pengganti, maka pelaksanaan pidana pokok (pidana penjara) dan pidana penjara pengganti adalah merupakan satu kesatuan, maka terpidana wajib melaksanakan pidana penjara pengganti tersebut. Dalam hal Jaksa Eksekutor berpandangan bahwa terpidana tidak mempunyai harta kekayaan yang cukup yang dapat disita dan dilelang untuk membayar uang pengganti, sehingga terpidana wajib menjalani pidana penjara pengganti tersebut, maka  penyitaan tidak dapat lagi dilakukan.

Undang-undang Tindak Pidana Korupsi tidak menentukan apakah  pidana penjara pengganti yang telah dilaksanakan (sebagian) oleh Terpidana dapat diperhitungkan dengan pembayaran uang pengganti yang harus dibayar terpidana. Namun demikian, “model” penyetaraan antara pembayaran uang pengganti dan pelaksanaan pidana penjara pengganti dimungkinkan  dalam Rancangan KUHP (dalam hal ini Denda dan Kurungan Pengganti Denda). Dengan demikian, sepanjang “telah terlanjur” dilaksanakan secara sekaligus pidana penjara pengganti dan pembayaran uang pengganti, maka untuk menghindari double penalty, hal itu dapat diperhitungkan secara proporsional.

Terakhir,  bagaimana hubungan pidana penjara pengganti dengan hak-hak narapidana yang lain, inipun menimbulkan persoalan. Pidana  penjara pengganti adalah subsidiairitas pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Sementara itu, remisi adalah hak seorang terpidana untuk mendapatkan pengurangan hukuman berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi kewenangan eksekutif (Presiden, cq Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, cq Direktorat Jenderal Pemasyarakatan). Dengan demikian, terhadap terpidana yang menjalani pidana penjara pengganti juga dapat memperoleh remisi, karena hal itu merupakan kewenangan eksekutif, dan tidak ada hubungannya dengan bentuk pidananya (pidana penjara pengganti) yang menjadi kewenangan yudikatif.