10 Juni 2015

Menggeser “Ajaran Penyertaan” untuk Menyeret Habieb Rizieq ke Meja Hijau



Dr. Chairul Huda, SH. MH.

     Umumnya suatu tindak pidana dirumuskan untuk pembuat tunggal, hanya beberapa diantaranya yang dirancang untuk menjangkau peristiwa yang melibatkan banyak orang. Untuk memperluas daya jangkau rumusan undang-undang tentang suatu delik yang di-design untuk pembuat tunggal tersebut, dibuat ketentuan tentang “penyertaan” (deelneming). Dilihat dari teori pembuat yang restriktif, ketentuan tentang penyertaan mutlak adanya, yang dengan dianya dapat membuat orang-orang lain selain pelaku (pleger) dari suatu kejahatan, dipandang juga melakukan perbuatan yang dilarang  (strafbaar). Undang-undang dengan demikian membatasi  pemidanaan terhadap orang yang turut campur dari suatu kejahatan sepanjang memenuhi kriteria sebagai peserta perbuatan pidana dalam “Ajaran Penyertaan”.
    Dalam kurun waktu 200 tahun terakhir tidak terjadi perubahan yang signifikan terhadap ketentuan undang-undang tentang penyertaan. Hal ini menyebabkan perubahan tentang pola hubungan pelaku dan peserta (dalam suruh lakukan (doenpelegen), turut serta melakukan (medeplegen), penganjuran (uitlokken) dan pembantuan) hanya terjadi dalam praktik hukum dan ilmu pengetahuan hukum. Apabila perkembangan oleh praktisi sangat dipengaruhi politik hukum yang berlaku, maka para akademisi selalu mencoba menjawab kebutuhan-kebutuhan praktik itu, berdasarkan faktor-faktor kriminogen yang timbul. 
   Dalam kasus Habieb Rizieq, “pergeseran” tentang ajaran penyertaan dari apa yang ditentukan oleh undang-undang, dengan keadaan  yang diharapkan timbul karena perubahan arah kebijakan (politik) hukum, dipertontonkan dengan sangat telanjang. Paling tidak hal itu terlihat dari dua hal, yaitu: penentuan tindak pidana yang dilakukan Habieb Rizieq dan pertanggungungjawaban pidananya atas hal itu.


Pertama, antara kejadian di sekitar Monas dan Habieb Rizieq dihubungkan dengan Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP. Dengan demikian, Ketua Umum FPI ini didakwa melakukan tindak pidana “menganjurkan” orang lain melakukan kejahatan. Dalam hal ini Habieb Rizieq dipandang sebagai “orang yang menggerakkan orang lain melakukan kejahatan”, yang disebut-sebut dilakukan “dengan menyalahgunakan martabat” dan/atau “dengan penyesatan”. Kedudukannya sebagai Ketua Umum FPI dipandang sebagai “martabat” yang “disalahgunakan”, diantaranya melalui ceramah-ceramahnya yang dilakukan sebelum “peristiwa monas” yang dipandang sebagai “penyesatan”, yang berisi “dorongan” untuk membubarkan Ahmadiyah, karena dipandang sesat dan telah keluar dari Islam. Pemahaman yang dimiliki para anggota FPI tentang Ahmadiyah dari pengajian-pengajian Habieb Rizieq   inilah yang  dipandang sebagai faktor penyebab kekerasan di Monas. Dengan demikian,  “ isi pengajian Habieb Rizieq” inilah yang dipandang sebagai kejahatan, yang locus delictie-nya di Markas FPI. 
Konstruksi di atas boleh jadi benar, apabila tindak kekerasan di sekitar monas tersebut dilakukan terhadap warga Ahmadiyah dan hal itu dilakukan oleh bukan hanya anggota FPI, tetapi lebih jauh lagi anggota FPI yang mendengar dan mengikuti pengajian Habieb, yang terpengaruh dan terdorong untuk melakukan kejahatan karena ceramah yang bersangkutan. Masalahnya menjadi lain, ketika kekerasan dilakukan oleh anggota FPI lainnya (yang tidak mengikuti pengajian) dan hal itu dilakukan terhadap AKBB (aliansi pro Ahmadiyah). Dengan demikian, terjadi pergeseran “Ajaran Penyertaan” dalam hal ini, khususnya dalam hal penganjuran, dari perbuatan “menggerakkan orang lain melakukan kejahatan”, menjadi dipandang juga penyertaan “menjadi pimpinan organisasi yang anggotanya melakukan kejahatan”. Kejahatan Habieb Rizieq adalah “menjadi Ketua Umum FPI”. Dengan demikian, setiap kali anggota FPI melakukan kekerasan terhadap Ahmadiyah, dimanapun hal itu dilakukan, maka selalu dapat dihubungkan dengan Habieb Rizieq, sebagai Ketua Umum FPI.    
Kedua,  terjadi pergeseran dalam penentuan kesalahan (schuld) Habieb Rizieq, atas perbuatan-perbuatan para anggota FPI atau kelompok-kelompok seperjuangannya, atas dugaan tindak kekerasan yang dilakukan terhadap masa AKBB yang pro Ahmadiyah. Memandang ajaran penyertaan sebagai perluasan pengertian delik, menyebabkan terhadap peserta dalam suatu penyertaan kejahatan,  seharusnya juga diliputi kesalahan, sesuai asas “geen straf zonder schuld”. Dengan demikian, bukan kesalahan anggota FPI yang diteruskan kepada ketua umumnya (Habieb Rizieq), tetapi merupakan kesalahan bagi pimpinan FPI apabila ada anggotanya yang melakukan tindak kejahatan sebagai pelaksanaan dari kegiatan organisasi.   
Habieb Rizieq sejak semula harus telah mengetahui dan menyadari bahwa ceramah-ceramahnya yang menyatakan Ahmadiyah sesat dan telah keluar dari Islam dan karenanya harus dibubarkan dengan cara apapun dapat menimbulkan tindak kekerasan. Persoalannya seharusnya diletakkan pada perbuatan yang bersangkutan melakukan ceramah-ceramah tersebut, dan bukan kedudukannya sebagai Ketua Umum FPI. Mengingat isi ceramah Habieb Rizieq yang dipandang sebagai kejahatan, sehingga celaan terhadap yang bersangkutan ditujukan karena perbuatannya tersebut, dan bukan celaan terhadap kedudukannya sebagai Ketua Umum FPI. Kedudukannya sebagai Ketua Umum FPI sama sekali bukan kejahatan, sehingga sama sekali tidak patut dicela oleh karenanya. Apabila para pelaku kekerasan monas adalah hanya sekedar anggota FPI, tidak anggota FPI yang “sesat” karena ceramah Habieb Rizieq sehingga melakukan kejahatan, maka pertanggungjawaban hal ini tidak berdasar kesalahan (liability without fault). Kembali terjadi pergeseran “Ajaran Penyertaan” dalam hal ini, kesalahan karena penyertaan dikonstruksi dalam bentuk strict liability.

Persoalannya kemudian mengapa terjadi pergeseran “Ajaran Penyertaan” dalam kasus Habieb Rizieq ini, tidak dapat dijawab secara juridis normatif. Mungkin dapat dilihat dari politik hukum pemerintah yang sedang berubah dalam hal ini. Pergeserannya memang lebih “lunak” apabila dibandingkan dengan politik hukum pemerintah terhadap Abu Bakar Ba’asyir dengan MMI-nya, dihubungkan dengan Bom Bali I dan II,  tetapi cukup menantang dan merepotkan para Akademisi untuk menyusun penjelasan-penjelasan teoretik mengenai hal itu, baik untuk menjustifikasinya atau sebaliknya.