13 Mei 2016

Keterangan Ahli Tentang Konstitusionalitas Pasal 35 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Terhadap Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945

oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH (Ahli Hukum Pidana)
Yang Mulia,  Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi,
Yang Terhormat, Pemerintah dan DPR RI,
Yang Terhormat, Pemohon atau Kuasa Hukumnya,
Hadirin yang berbahagia.

Perkenankanlah saya dalam kapasitas sebagai Ahli Hukum Pidana mengemukakan pandangan-pandangan berkaitan dengan keahlian saya, dalam persidangan pengujian undang-undang ini. Mengingat Pasal 35 huruf c dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU No. 16 Tahun 2004) yang diuji konstitusionalitasnya, terkait dengan permasalahan dalam  Hukum Acara Pidana, sehingga termasuk bidang keahlian saya. Saya akan memfokuskan Keterangan Ahli ini pada persoalan utamanya saja, yaitu masalah tugas dan wewenang Jaksa Agung mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, sekalipun disana sini mengkaitkannya dengan masalah lain yang diatur dalam KUHAP, yaitu penuntutan dan pengentiannya.



Dalam hal ini penjelasan dibagi kedalam dua bagian, yaitu: pertama persoalan makna frasa “mengesampingkan perkara demi kepentingan umum” dalam Pasal 35 huruf c dalam UU No. 16 Tahun 2004, dikaitkan dengan penjelasan pasal tersebut, dan kedua tentang fungsi “kewenangan Jaksa Agung mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”, dalam kaitannya dengan sistem peradilan pidana secara keseluruhan.

Makna frasa mengesampingkan perkara demi kepentingan umum

Sepintas lalu frasa mengesampingkan perkara demi kepentingan umum yang menjadi  kewenangan Jaksa Agung, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 35 huruf c dalam UU No. 16 Tahun 2004, tidak menjadi persoalan karena mempunyai fundamental teori yang cukup kuat. Dalam hal ini disebut-sebut ketentuan tersebut merupakan ejawantah dari asas oportunitas penuntutan perkara pidana (opportuniteitsbeginsel).  Dalam hal ini dikatakan orang jaksa berwenang untuk menuntut atau tidak menuntut suatu perkara pidana, dengan syarat atau tanpa syarat. Pada sisi seberangnya penuntutan dilandasi oleh asas legalitas, yang justru menempatkan penuntutan sebagai kewajiban dan bukan kewenangan.

Memahami tentang frasa yang menjadi kewenangan Jaksa Agung tersebut, yaitu mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c dalam UU No. 16 Tahun 2004, tidak pada tempatnya dengan menghadap-hadapkan asas legalitas penuntutan versus asas oportunitas penuntutan. Kedua asas tersebut mempunyai pembenaran dalam ranah teoretik dan mempunyai dasar falsafahnya masing-masing. Tentunya penggunaan kedua asas tersebut mempunyai plus minus-nya dalam suatu sistem hukum. Menurut hemat saya, sejatinya kedua asas tersebut tidak dalam posisi yang saling bertentangan satu sama lain, melainkan bersifat kontemplatif, dimana  kedua-duanya diakui dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

Menurut pendapat saya, memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, sebagaimana ditentukan dalam  Pasal 35 huruf c dalam UU No. 16 Tahun 2004, pada satu sisi merupakan otonomi pembentuk undang-undang. Namun yang menjadi persoalan adalah, apakah rumusan yang telah diberikan pembentuk undang-undang dalam mewadahi pemberian kewenangan tersebut telah menjamin kepastian hukum (legal certainty), proses yang tidak memihak dan perlakuan yang adil (due process and fair procedure) dan menempatkan setiap orang memiliki persamaan derajat di muka hukum (equality before the law). Dari sisi ini persoalan pokok berkenaan dengan pemohonan uji materil Pasal 35 huruf c dalam UU No. 16 Tahun 2004, lebih tertuju pada tafsiran konstitusionalnya, yang selaras dengan prinsip-prinsip penegakan negara hukum yang diamanatkan Konstitusi.

    Tanpa tafsir yang memadai, boleh jadi potensi kerugian konstitusional Pemohon (prinsipal) benar-benar terjadi, seperti juga penggunaan kewenangan Pasal 35 huruf c dalam UU No. 16 Tahun 2004 oleh Jaksa Agung sebelum ini, yang dirasakan banyak pihak telah digunakan secara politis, sebagai bentuk penyelundupan hukum dan justru dilakukan untuk melindungi individu tertentu dari proses hukum. Misalnya, berkenaan dengan penggunaan kewenangan ini oleh Jaksa Agung terhadap kasus dugaan korupsi terhadap BIBIT SAMAD RIYANTO (TAP 001/A/JA/01/2011) dan CHANDRA M HAMZAH (TAP 002/A/JA/01/2011). Dikatakan bersifat politis, karena dilakukan pemerintahan Presiden SUSILO BAMBANG YUDOYONO dibawah tekanan sebagian masyarakat dan sebagai dampak bumerang politik pemerintah dalam mencampuri proses hukum dengan membentuk apa yang disebut dengan TIM DELAPAN. Dikatakan penyelundupan hukum karena kewenangan ini digunakan Jaksa Agung setelah Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan terhadap perkara itu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang telah pula dikuatkan oleh Mahkamah Agung. Dikatakan digunakan untuk melindungi kepentingan individu tertentu, karena pokok dasar pengesampingannya bukan menyangkut materi perkaranya, tetapi individunya (pada waktu itu merupakan Komisioner (non aktif) pada Komisi Pemberantasan Korupsi). Dalam hal ini penggunaan ketentuan yang memberi kewenangan seponering ini  terkesan bukan semata-mata dilakukan demi kepentingan umum, dalam artian demi kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, sebagaimana diamatkan dalam penjelasan pasal dimaksud. Tanpa tafsir yang konstitusional, ketentuan ini juga dapat digunakan oleh Jaksa Agung secara  subyektif, dengan mengabaikan faktor-faktor obyektif atas perkaranya, dan tentunya pada sisi lain melukai kepentingan pihak lain (pelapor atau korban ataupun masyarakat luas).

Persoalan pokoknya menurut pendapat saya justru terletak pada pemaknaan ketentuan memungkinkan suatu perkara dapat dikesampingkan oleh Jaksa Agung, pertama, apakah dimaknai semata-mata sebagai  suatu keputusan yang didasarkan pada penilaian Jaksa Agung sendiri, atas justru apakah dipahami dalam makna yang kedua, bahwa hal itu dilakukan Jaksa Agung dalam  rangka melayani kepentingan umum,   yaitu kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.

Jikalau pembentuk undang-undang bermaksud memberikan kewenangan mengesampingkan perkara disini semata-mata pada penilaian subyektif Jaksa Agung, maka pembentuk undang-undang tidak perlu memberi definisi tentang apa yang dimaksud dengan kepentingan umum itu, sebagaimana disebutkan dalam penjelasan ketetuan tersebut. Biarlah Jaksa Agung memberi makna sendiri tentang apakah yang dimaksud demi kepentingan umum baginya dalam hal ini. Selain itu, jika memang demikian, pembentuk undang-undang juga tidak perlu sama sekali memberikan penjelasan bahwa penggunaan kewenangan itu oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Dengan demikian, terang benderanglah bahwa kewenangan Jaksa Agung mengesampingkan perkara disini bukan dalam makna yang pertama. Dengan kata lain, kewenangan seponering tidak bersifat discretional (kewenangan yang tidak bergantung pada kewenangan pejabat/lembaga lain). Namun, hal itu lebih menunjukkan bahwa Jaksa Agung sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dibidang penuntutan perkara pidana bewenang mengesampingkan perkara itu demi kepentingan umum, yaitu ketika lembaga-lembaga negara yang lain menyatakan bahwa kepentingan institusionalnya akan terganggu jika proses pidana atas suatu perkara dilanjutkan atau jika hal itu dilakukan justru tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat luas.

Menurut pendapat saya, jika kewenangan Jaksa Agung sebagaimana dimakud dalam Pasal 35 huruf c dalam UU No. 16 Tahun 2004 dipahami dalam makna yang pertama, atau mengesampingkan perkara dilakukan sema-mata atas penilaiannya sendiri, maka hal itu lebih tepat jika dirumuskan untuk kepentingan umum dan bukan demi kepentingan  umum. Kata untuk, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia salah satunya berarti tujuan atau maksud. Dalam hal ini pengesampingan perkara itu dilakukan dengan tujuan atau dimaksudkan bagi kepentingan umum. Otoritas yang inheren pada diri Jaksa Agung itu sendiri yang berwenang memberi tafsir apakah yang dimaksud kepentingan umum dalam hal ini atau apakah suatu keadaan telah berada pada situasi tertentu.

Berbeda dengan Pasal 35 huruf c dalam UU No. 16 Tahun 2004, yang menggunakan kata demi di depan istilah kepentingan umum, dan membatasi makna   “kepentingan umum” sebagai kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas dan menentukan “prosedurnya”  bahwa pengambilan keputusan yang demikian itu dilakukan setelah memperhatikan saran dan pendapat badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Dalam hal ini, kepentingan umum merupakan sesuatu yang berada di luar Jaksa Agung. Artinya, Jaksa Agung hanya melayani kepentingan umum dan tidak merupakan representasi kepentingan umum itu sendiri. Oleh karena itu, kepentingan umum sebenarnya adalah kepentingan dari lembaga-lembaga negara atau setidak-tidaknya kepentingan umum merupakan kepentingan masyarakat luas yang disuarakan lembaga-lembaga negara itu.

Berdasarkan alasan di atas, berbeda dengan apa yang didalilkan Pemohon, menurut pendapat saya sebagai Ahli Hukum Pidana, frasa demi kepentingan  umum sebagaimana dimaskud dalam Pasal 35 huruf c dalam UU No. 16 Tahun 2004 konstitusional sepanjang dimaknai (conditionally constitutional) sebagai kepentingan lembaga-lembaga negara dan/atau kepentingan masyarakat luas yang disuarakan lembaga-lembaga negara itu.

Yang Mulia,  Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi,
Hadirin yang berbahagia.

Fungsi kewenangan Jaksa Agung mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”

Penggunaan kewenangan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum oleh Jaksa Agung, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentunya tidak dilakukan sebagai balasan atau tindak lanjut ketika suatu perkara yang telah dihentikan penuntutannya oleh Jaksa/Penuntut Umum, tetapi oleh Pengadilan Negeri yang berwenang dalam melaksanakan kontrol horizontalnya, menyatakan langkah tersebut tidak sah. Dalam hal keadaan yang demikian itu, sama artinya pengadilan mewajibkan perkara itu untuk diperiksa di muka sidang pengadilan dan sama sekali menuntup kemungkinan Jaksa Agung menggunakan kewenangannya dengan menghentikan penuntutan melalui mengesampingkan perkara itu berdasarkan  Pasal 35 huruf c dalam UU No. 16 Tahun 2004.

Pada dasarnya antara kewenangan menghentikan penuntutan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP dan kewenangan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c dalam UU No. 16 Tahun 2004, bersifat paralel dan bukan bersifat hirarkhis. Perbedaannya cuma pada persoalan pejabat yang berwenang dan alasannya. Penghentian  penuntutan menjadi kewenangan setiap Jaksa/Penuntut Umum sedangkan pengesampingan perkara demi kepentingan umum hanya menjadi kewenangan Jaksa Agung. Sementara itu, penghentian penuntutan dilakukan demi kepentingan hukum, yaitu karena tidak terdapat cukup bukti, peritiwa tersebut ternyaata bukan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum (ne bis in idem, terdakwa yang meninggal dunia, unfit to stand trial, daluwarsa dll.).  Sedangkan  pengesampingan perkara dilakukan demi kepentingan umum, yaitu kepentingan  lembaga-lembaga negara dan/atau kepentingan masyarakat luas yang disuarakan lembaga-lembaga negara itu.

Dalam konstruksi yang demikian itu, antara demi kepentingan hukum (yang menjadi alasan penghentian penuntutan) dan  demi kepentingan umum (yang menjadi alasan pengesampingan perkara), tidak mungkin ada  dalam satu perkara yang sama. Ide mengesampingakan perkara tidak mungkin baru ada setelah ketetapan penghentian penuntutan dinyatakan tidak sah oleh pengadilan, atau sebaliknya. Masing-masing ada tempatnya sendiri-sendiri dalam Hukum Acara Pidana. Oleh karena itu, jika pengesampingan perkara dilakukan setelah penghentian penuntutan dinyatakan tidak sah oleh pengadilan, tentu hal itu bukan pengesampingan perkara yang diamanatkan dalam Pasal 35 huruf c dalam UU No. 16 Tahun 2004.

Pengesampingan perkara dapat dilakukan Jaksa Agung justru karena suatu perkara tidak dapat dihentikan penuntutannya dengan alasan-alasan hukum yang ditentukan secara limitatif dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP. Dalam hal ini kepentingan hukum untuk menuntut pidana dikalahkan oleh kepentingan umum. Sebangun dengan hal ini adalah mengenai apa yang dalam doktrin Hukum Pidana, dikatakan: suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat melawan hukum, apabila perbuatan itu dilakukan untuk melayani kepentingan yang lebih tinggi. Dengan kata lain, mentaati norma hukum pidana tidak lebih penting apabila dibandingkan dengan pemenuhan kewajiban menurut norma yang lebih tinggi. Dalam konteks ini hukum diadakan untuk masyarakat dan bukan sebaliknya, masyarakat diadakan untuk hukum. Oleh karena itu, tidak ada faedahnya memproses suatu perkara pidana ketika  hal itu berhadap-hadapan atau tidak sejalan dengan kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.

Berdasarkan hal tersebut memaknai Pasal 35 huruf c dalam UU No. 16 Tahun 2004 terlepas dari penjelasannya merupakan konstruksi hukum yang inkonstitusional. Penjelasan Pasal 35 huruf c dalam UU No. 16 Tahun 2004 harus ditempatkan sebagai substansi dari norma tersebut. Dalam hal ini demi kepentingan umum semata-mata merupakan kepentingan lembaga-lembaga negara dan/atau kepentingan masyarakat luas yang disuarakan oleh lembaga-lembaga negara tersebut. Oleh karena itu, persoalan berkenaan dengan pengesampingan perkara yang dirasakan sebagian oleh masyarakat tidak pada tempatnya,  bukan semata-mata domain pelaksanaan norma atau penyimpangan pelaksanaan dari norma tersebut, tetapi justru berpangkal tolak dari penormaan yang tidak lengkap, samar atau setidak-tidaknya meletakkan norma substansi dan norma prosedur dalam penjelasan, yang seharusnya hanya menjelaskan dan bukan membentuk norma tersendiri.

Berdasakan hal tersebut, menurut pendapat saya sebagai Ahli Hukum Pidana, penjelasan Pasal 35 huruf c dalam UU No. 16 Tahun 2004 harus diangkat menjadi norma itu sendiri, sehingga frasa demi kepentingan  umum sebagaimana dimaskud dalam Pasal 35 huruf c dalam UU No. 16 Tahun 2004 tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum, kecuali dimaknai sebagai kepentingan lembaga-lembaga negara dan/atau kepentingan masyarakat luas yang disuarakan lembaga-lembaga negara itu.

Demikian pendapat saya. Wallaualam.