12 Februari 2016

DIALOG TENTANG PERBUATAN DAN KESALAHAN DALAM HUKUM PIDANA, SERTA PEMBUKTIAN DAN PENILAIANNYA DALAM PENYIDIKAN, PENUNTUTAN DAN PEMERISAAN DI MUKA SIDANG PENGADILAN




Oleh: Dr. CHAIRUL HUDA, SH., MH.

Persoalan penilaian tentang kesalahan dalam Hukum Pidana, telah memasuki fase keempat. Fase ini diwarnai oleh pertayaan-pertayaan bagaimana mengimplementasikan ajaran tentang kesalahan dalam putusan hakim. Tentunya sebelum itu bagaimana mempertimbangkannya dalam acara pidana. Dibawah ini akan saya kemukakan dialog saya, dengan seorang hakim (Yang Mulia Wahyu Sudrajat, SH) yang sedang menulis tesis. Pertanyaan-pertayaannya, sangat mendalam, khas seorang hakim, tetapi sangat teoretik dan belakangan menjadi filosofis.
Untuk mendapatkan kesan dialog yang sempurna, saya sengaja menampilkan pertanyaan yang bersangkutan dan jawaban saya tanpa saya tambah dan kurangi sedikitpun, keculai perbaikan pengetikan dan sedikit penambahan kata penghubung untuk menghindari kekeliruan pemahaman. Semoga bermanfaat.


########PERTANYAAN################JAWABAN######################
1.    Pada hakikatnya baik putusan bebas maupun putusan lepas dari segala tuntutan hukum sama-sama merupakan putusan bukan pemidanaan. Apakah perbedaan mendasar dari kedua putusan tersebut yang menyebabkan keduanya harus diatur secara sendiri-sendiri?
-----1. Perbedaan mendasar antara putusan lepas dan putusan bebas adalah sebagai  berikut:  
a.    Putusan bebas merupakan kesimpulan Hakim atas penilaian fakta-fakta yang terungkap di sidang pengadilan, sedangkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum seharusnya merupakan masalah penilaian hukumnya. Jadi putusan bebas masalah fakta sedangkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum merupakan masalah hukum;
b.    Sebagai masalah fakta maka seharusnya putusan bebas tidak dapat di Kasasi, sedangkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum karena berkenaan dengan penerapan hukum, maka dapat di Kasasi. Kekacauan terjadi ketika diperkenalkan putusan bebas murni dan putusan bebas tidak murni, yang mencampuradukkan dua persoalan ini;
c.    Persoalan pokok yang selama ini terjadi dalam praktek hukum adalah rumusan Pasal 191 ayat (1) dan (2) KUHAP yang “multi tafsir”, yang menyebabkan penggunaannya  bealih-alih. Dalam pandangan saya putusan bebas ketika terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana, sedangkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum ketika terdakwa sekalipun dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana, tetapi tidak dapat dipersalahkan (dimintai pertanggungjawaban pidana) atas hal itu;
d.    Putusan bebas lebih terutama menggambarkan hasil  “pertarungan” antara Penuntut Umum dan Terdakwa/Penasihat Hukum, sedangkan putusan lepas dari dari segala tututan hukum, didominasi oleh peran hakim untuk melihat pertanggungjawaban (kesalahan) terdakwa karena perbuatannya. Jadi soal-soal yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana, diajukan sebagai dasar pembelaan ataupun tidak tetap membuat hakim berkewajiban mendalami dan mempertimbangkannya;

2.    Apakah alasan yang menyebabkan pasal 244 KUHAP sebelum frasa “kecuali terhadap putusan bebas” dibatalkan oleh MK melarang dilakukan upaya kasasi terhadap putusan bebas tetapi tidak memberikan larangan itu terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum?
--------2. Pertanyaan ini terjawab sebenarnya dari jawaban saya atas pertanyaan no. 1. Putusan bebas merupakan masalah fakta, yang menjadi kewenagan pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding (sistem peradilan dua instansi), dan tidak menjadi kewenangan MA, yang kewenangannya hanya masalah penerapan hukum di tingkat kasasi. Pada dasarnya hakim Kasasi tidak pernah menilai bukti-bukti secara langsung, yang berbeda dengan hakim tingkat pertama (dan hakim banding, sekalipun prakteknya hampir tidak ditemukan hakim banding memeriksa kembali saksi-saksi atau alat bukti lain secara langsung);
3.    Pada buku Bapak dengan judul “dari tiada pidana tanpa kesalahan menuju...dst”tepatnya halaman 53. Bapak menyarankan seharusnya bunyi putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah “apabila terdakwa tidak dapat dipersalahkan atas tindak pidana yang didakwakan maka diputus lepas dari segala tuntutan hukum” artinya ada tidaknya kesalahan menjadi ukuran. Tetapi saat ini bunyi ketentuan putusan bebas sebagaimana diatur pada pasal 191 ayat (1) KUHAP menyatakan “apabila pengadilan berpendapat kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak terbukti maka terdakwa diputus bebas” artinya kesalahan juga tolak ukur atas putusan bebas menurut pasal tersebut. Atas hal tersebut bagaimana seharusnya ketentuan putusan bebas itu menurut Bapak?
---------3. Seperti telah saya jelaskan, seharusnya putusan bebas dijatuhkan ketika terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana. Namun perlu diingat, tindak pidana disini adalah tindak pidana dalam pandangan monistis, yang berisi perbuatan yang dilarang semata. Jadi orang dibebaskan bukan karena dirinya tidak bersalah, tetapi karena tindak pidana yang didakwakan kepadanya tidak terbukti. Sebaliknya orang dinyatakan tidak bersalah, ketika tidak memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban (pada manusia terdiri dari mampu bertanggung jawab, sengaja atau alpa dan tidak ada alasan pemaaf). Mengenai hal ini merupakan penilaian atas keadaan batin terdakwa dan hubungan keadaan batinnya dengan perbuatannya. Disini lebih banyak penilaian yuridis apakah yang bersangkutan dapat dicela karena perbuatannya (yang notabene merupakan tindak pidana). Oleh karena itu, jika tidak terbukti bersalah, terhadap terdakwa itu dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
4.    Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP menggunakan frasa “tindak pidana yang didakwakan” sedangkan Pasal 191 ayat (1) dan (2) KUHAP menggunakan frasa “perbuatan yang didakwakan”. Apakah “tindak pidana yang didakwakan” yang disebut dalam pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP itu  adalah sama maknanya dengan “perbuatan yang didakwakan” sebagaimana digunakan dalam pasal 191 ayat (1) dan (2) KUHAP?
---------4. Ini adalah bentuk inkonsistensi KUHAP dalam menggunakan istilah. Lihatlah Pasal 191 ayat (2) KUHAP menggunakan istilah “perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti”, tetapi kemudian ditambah anak kalimat “tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana”. Jadi seolah-olah yang didakwakan bukan perbuatan yang merupakan tindak pidana. Dalam pandangan saya, ketika perbuatan yang didakwakan terbukti, maka hal itu merupakan tindak pidana. Jika suatu peristiwa yang terjadi ternyata suatu wanprestasi, maka tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti, maka terdakwa harus dibebaskan. Dalam konstruksi KUHAP, jika yang terbukti adalah wanprestasi, justru terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum.  Oleh karena itu, yang didakwakan harus merupakan tindak pidana, dan bukan sekedar perbuatan. Perbuatan dalam pengertian disini harus merupakan perbuatan yang memenuhi isi larangan undang-undang sebagai delik, dan tidak sekedar adanya perbuatan semata. Penyidik dan karenanya juga Penuntut Umum, mempunyai kewajiban hukum untuk memastikan bahwa perbuata terdakwa adalah tindak pidana, bukan sekedar perbuatan yang dilaporkan Pelapor/Korban. Perbuatan yang dilaporkan, bisa tindak pidana bisa juga bukan. Ketika dipastikan merupakan tindak pidana, maka perbuatan inilah yang didakwakan.

                 Berbeda dengan kesalahan yang menjadi domain hakim. Jika tindak pidana yang didakwakan terbukti, tetapi hakim memandang hal itu tidak dapat dipersalahkan kepada terdakwa, maka terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Makna “dilepaskan” dan bukan “dibebaskan” mempunyai pesan bagi siapa saja, termasuk terdakwa, bahwa dirinya tetap saja telah melakukan tindak pidana (perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidna). Keadaan pada dirinya  dan kaitan antara perbuatannya dengan keadaan dirinya itu, menyebabkan  yang bersangkutan dilepaskan dari segala tuntutan hukum.  Tindak pidana yang didakwakan terbukti tetapi terdakwa tidak dapat dipersalahkan atas hal itu, semisal karena tidak waras, tidak ada kesalahan sama sekali (AVAS) ataupun dalam keadaan adanya paksaan dari luar yang menyebabkan dirinya tidak dapat berbuat lain.
5.    Dalam pendapat Bapak diatas, seharusnya putusan bebas dijatuhkan ketika terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana. Sedangkan menurut Prof. Sudikno Mertokusumo (Sudikno Mertokusumo, 1988, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogjakarta, hlm. 92-94) ada tiga tahap hakim dalam mengadili, yaitu konstatasi, kualifikasi dan konstitusi. Jika diterapkan dalam perkara pidana artinya konstatasi adalah menentukan ada tidaknya perbuatan yang didakwakan dalam arti ada tidaknya perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa. Jika terbukti maka hakim akan masuk ke tahap kualifikasi untuk menentukan apakah perbuatan terdakwa itu merupakan tindak pidana atau bukan. Akan tetapi jika hakim berpendapat perbuatan materiil yang didakwakan itu tidak ada maka dengan sendirinya hakim tidak melakukan kualifikasi dan langsung mengkonstitusi hukum bagi perbuatan materiil yang tidak terbukti itu.
a.     Contoh : JPU mendakwa A melakukan perbuatan mengambil HP di kamar B pada tanggal 1-1-2016 dan atas perbuatan yang didakwakan itu JPU mendakwa Terdakwa melakukan tindak pidana pencurian dalam pasal 362 KUHP. Ternyata alat bukti tidak cukup membuktikan dan meyakinkan hakim bahwa A mengambil HP bahkan A berhasil membuktikan sejak tgl 25-12-2015 sampai tanggal 5-1-2016  A berada di luar negeri melalui bukti catatan keimigrasian.
Dalam keadaan yang demikian apakah A itu dapat dikategorikan dalam keadaan tidak terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan atau tidak terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan atau tidak terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan sekaligus tidak terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan?
b.    Jika dalam tahap konstatasi, hakim berkeyakinan perbuatan yang didakwakan terbukti maka hakim akan mempertimbangkan perbuatan yang didakwakan itu  dalam tahap kualifikasi untuk menentukan apakah perbuatan yang didakwakan terbukti adanya itu dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana dan apakah terdakwa dipertanggungjawabkan atas tindak pidana itu.
Menurut Prof. Eddy O.S. Hiariej, pada kasus Putusan Arrest Hoge Raad tanggal (23 Mei 1921) dimana HR menentukan perbuatan dokter gigi menyalakan listrik dikualifikasikan sebagai mengambil dan listrik dapat dikualifikasikan barang  sebagaimana dimaksud dalam pasal pencurian dalam KUHP Belanda waktu itu, di pengadilan tingkat pertama perdebatan bukan pada persoalan apakah dokter gigi yang didudukan sebagai terdakwa itu benar menyambungkan listrik ke tetangganya dan kemudian menyalakan saklar karena atas perbuatan yang didakwakan tersebut hakim sudah yakin keterbuktiannya tetapi perdebatan terjadi pada tahap kualifikasi yaitu persoalan apakah menyambungkan kabel sehingga listrik mengalir ke tempat dokter gigi itu adalah perbuatan mengambil barang sebagaimana dimaksud unsur dari rumusan tindak pidana pencurian dalam pasal yang didakwakan penuntutan umum.  Sehingga pada pengadilan tingkat pertama putusan yang dijatuhkan adalah lepas dari segala tuntutan hukum dengan pertimbangan tidak memenuhi unsur mengambil dan unsur barang dan atas putusan itu diajukan kasasi meskipun pada tingkat kasasi HR menjatuhkan pidana dengan alasan menyambungkan kabel dan menyalakan saklar sehingga listrik mengalir ke ruang dokter gigi itu adalah perbuatan mengambil barang sebagaimana dimaksud dalam tindak pidana pencurian.
Berkaca dari perkara yang demikian, artinya pada pengadilan tingkat pertama, tidak terpenuhinya unsur mengambil barang menyebabkan perbuatan yang didakwakan itu terbukti tetapi bukan tindak pidana karena unsur dari rumusan tindak pidananya tidak terpenuhi dan ini berarti berkaitan dengan persoalan penerapan dan penafsiran hukum oleh hakim sudah tepat atau tidak ketika mengkualifikasikan perbuatan yang didakwakan tersebut.
Dalam keadaaan tersebut diatas, dalam pendapat bapak apakah keadaan yang demikian itu dapat diartikan “tindak pidana tidak terbukti” atau “perbuatannya terbukti tetapi bukan tindak pidana” atau makna “tindak pidana tidak terbukti itu” sebenarnya dalam putusan pengadilan tingkat pertama diatas sama dengan dengan “perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi bukan tindak pidana”?
---------5. Bagi saya penganut dualistis, tahap konstatasi dapat diartikan sebagai tindakan hakim dalam mepertimbangkan apakah tindak pidana yang didakwakan terbukti atau tidak. Disini yang untuk dapat dikatakan terbukti perlu dua alat bukti. Jadi jika tidak ada alat bukti dimaksud maka perbuatan terdakwa tidak terbukti. Dalam contoh pertama, maka A yang tidak terbukti berada di TKP ketika Hp dimaksud hilang, menyebabkan A tidak terbukti melakukan tindak pidana, dan karenanya harus dibebaskan. Dalam hal ini sama sekali tidak ada “problem perbuatan”, dan juga karenanya secara mutatis mutandis  tidak ada “problem kesalahan”. Terdakwa A memang seharusnya dibebaskan karena tidak terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan.

Sementara itu dalam contoh yang kedua, persoalan pokoknya pada penafsiran hakim tentang apa yang dimaksud perbuatan “mengambil” atau “barang”. Disini, masih masuk tahap konstatasi, yaitu mempertimbangkan apakah tindak pidana yang didakwakan terbukti atau tidak. Seharusnya jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan dokter gigi dimaksud tidak termasuk dalam pengertian “mengambil” dan listrik tidak masuk dalam pengertian “barang”, maka dokter gigi itu harus dibebaskan. Jika dilepaskan dari segala tuntutan hukum, maka suatu konstruksi yang keliru karena berpandangan bahwa tindak pidana yang didakwakan kepada  dokter itu terbukti, tetapi tidak dapat dipersalahkan kepadanya. Tidak mengherankan ketika pengadilan diatasnya kemudian menghukum dokter gigi tersebut karena dikonstatir perbuatan menyambungkan kabel termasuk perbuatan “mengambil” dan listrik termasuk dalam pengertian “barang” dalam pasal pencurian.
Jika dipikirkan terpisah antara “perbuatan yang didakwakan tidak terbukti” dan “tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti”, maka akan ada persoalan pembuktian yang serius. Dengan apakah dikatakan pebuatan yang didakwakan tidak terbukti? Konstruksi di atas menimbulkan beban pembuktian bagi terdakwa, untuk membuktikan bahwa perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti. Jika tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti, maka penuntut umum yang tidak dapat membuktikan bahwa persistiwa dimaksud adalah perbuatan terdakwa atau perbuatan itu bukan perbuatan yang taatbestand denga nisi rumusan tindka pidana. Sejauh  mungkin terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, kecuali dalam tindak pidana-tindak pidana yang memerlukan perlakuan khusus karena politik kriminal.    
               Bagi saya, sekali lagi sebagai penganut dualistis, tahap kualifikasi adalah bagaimana hakim mempertimbangkan kesalahan terdakwa. Bagaimana sikap batin dokter gigi itu ketika mencuri listrik. Apakah perbuatannya dapat dicela? Apakah dokter gigi itu dapat berbuat lain? Apakah orang-orang yang setara dengan dokter gigi itu akan melakukan hal serupa dalam kejadian-kejadian yang serupa pula. Disini, tampaknya tidak ada “problem kesalahan” sama sekali, jadi dokter gigi itu seharusnya memang dijatuhi pidana.
              
Dengan  demikian, dalam tahap konstatasi yang bermain adalah minimal “dua alat bukti yang sah”, sedangkan dalam tahap kualifikasi permainan berpusat pada “keyakinan hakim”. Kualifikasi adaah bicara soal ketercelaan terdakwa atas tindak pidana yang dipandang terbuti secara sah dan meyakinkan. Segala keraguan harus disingkirkan (beyond the reasonable doubt), sehingga hakim berteguh sikap bahwa celaan yang objektif pada tindak pidana yang dilakukan terdakwa memang seharusnya diteruskan secara subyektif kepada yang bersangkutan.
Lihatlah dalam Aresst Hoge Raad tentang penjual susu. Dakwaan terhadapnya terbukti, yaitu  menjual susu yang diberi label susu murni tetapi sebenarnya telah dicampur air, sehingga merupakan tindak pidana. Namun demikian perbuatan itu, tidak dapat dipersalahkan kepada bujang penjual susu itu, karena sebagai penjual tidak mempunyai kewajiban hukum sampai dengan memastikan kemurnian mengenai susu yang dijualnya. Tahap konstatasinya terpenuhi, tetapi tahap kualifikasinya tidak masuk. Disini si penjual susu seharusnya dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Konsekuensinya tuntutan hukum diajukan kepada produsen susu itu. Jika penjual susu itu dibebaskan, maka tidak ada alasan untuk menuntut pidana kepada kepada produsennya, karena perbuatan materilnya dipandang bukan tindak pidana.
               Tahap konstitutif, adalah pertimbangan hakim tentang jenis dan jumlah pidana. Disini masih mungkin terdakwa tidak dijatuhi pidana jika cara lain akan lebih baik buat semua. Namun demikian, jika tidak ditemukan alasan-alasan yang bisa menolong terdakwa untuk tidak dijatuhi pidana, atau pidana  yang berat daripada yang ringan, ataupun pidana dengan tindakan, maka “mau tidak mau” atau “dengan berat hati” hakim harus menjatuhkan pidana. Penjatuhan pidana adalah pilihan terakhir yang harus dijatuhkan hakim. Ultimum remedium, bukan hanya dalam penegretian in abstracto tetapi juga in konkreto dalam tahapan ini.
               Demikian pak Wahyu, jika pandangan dualistis diikuti secara konsisten maka tahap konstatasi, kualifikasi dan konstitusi diartikan secara demikian.
6.    Dalam tesis saya ini, batu uji yang digunakan selain teori dualistis adalah teori pembuktian negatif sebagaimana dianut pasal 183 KUHAP dan sebagaimana Bapak, saya juga adalah penganut ajaran dualistis. Namun sebelumnya saya kutipkan pendapat (Alm) Prof Sudikno mengenai proses pertimbangan hakim sampai pada tahap menjatuhkan putusan sbb:
                 Dalam mengadili suatu perkara, hakim harus melakukan tiga tindakan secara bertahap sebagai berikut:[1]
1.    Pertama-tama mengkonstatir benar tidaknya peristiwa yang diajukan. Mengkonstatir berarti melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang telah diajukan tersebut.
2.    Setelah hakim berhasil mengkonstatir peristiwanya, tindakan yang harus dilakukannya kemudian ialah harus mengkualifisir peristiwa itu. Mengkwalifisir berarti menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi itu termasuk hubungan hokum apa atau yang mana, dengan perkataan lain menemukan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir. Jadi mengkwalifisir pada umumnya berarti menemukan hukumnya dengan jalan menerapakan peraturan hokum terhadap peristiwa, suatu kegiatan yang pada umumnya bersifat logis. Mengadakan kwalifisering peristiwa bolehlah diaktakan jauh lebih sukar daripada mengkonstatir peristiwa, karena mengkonstatir peristiwa berarti melihat peristiwa konkrit, sesuatu yang dapat dilihat, sedangkan  kwalifikasi dalam hal ini berarti abstraksi daripada peristiwa yang konkrit tersebut. Mengkwalifisir pada hakikatnya tidak lain daripada menilai, dan menilai merupakan pertimbangan yang tidak semata-mata logis sifatnya seperti dalam mengkonstatir peristiwa. Mengkwalifisir peristiwa mengandung unsur kreatif seperti yang telah dikemukakan diatas dan ini sekaligus berarti melengkapi undang-undang. Maka oleh karena itu daya cipta hakim besar sekali peranannya.
3.    Dalam tahap terakhir, sesudah mengkonstatir dan mengkwalifisir peristiwa, hakim harus mengkonstituir atau memberi konstitusinya. Ini berarti bahwa hakim menetapkan hukumnya kepada yang bersangkutan, memberi keadilan. Disini hakim mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor, yaitu (peraturan) hokum, dan premise minor, yaitu peristiwanya.

Terhadap pemaparan tersebut, dalam (maskudnya Wahyu Sudrajat-pen)  menyatakan sebagai berikut:
Dari uraian tersebut tampak pada perkara pidana dalam tahap konstatasi, yang diuji adalah perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dengan menggunakan batu uji berupa alat-alat bukti yang diajukan penuntut umum. Dalam tahap kualifikasi, pertama, yang diuji adalah perbuatan yang telah terbukti dalam tahap konstatasi dengan menggunakan batu uji berupa unsur dari rumusan tindak pidana dalam pasal yang didakwakan oleh penuntut umum. Kedua, yang diuji adalah kesalahan terdakwa yang diuji dengan motif, keadaan-keadaan yang melatarbelakangi timbulnya perbuatan dan lain-lain. Tahap konstatasi ini bisa disebut sebagai wilayah penerapan hukum sekaligus wilayah penemuan hukum dimana hakim dituntut menggunakan penalaran hukumnya secara maksimal. Sedangkan dalam tahap konstitusi, hakim memutuskan hukum atas perkara tersebut berdasarkan pertimbangan yang dilakukan pada tahap konstatasi dan tahap kualifikasi.
Mohon dengan hormat, pendapat Bapak, atas pernyataan-pernyataan diatas.

-------6. Sesungguhnya tidak ada perbedaan yang terlalu prinsipiel antara pernyataan di atas dengan pandangan saya. Perbedaannya adalah untuk tahap pengujian perbuatan yang terbukti dalam tahap kontatasi dengan batu uji unsur-unsur tindak pidana  yang didakwakan, saya memasukkannya kedalam bagian tahap kontatasi. Sekali lagi karena yang didakwakan bukan “perbuatan” atau “feit”, tetapi yang didakwakan adalah “tindak pidana” atau “strafbaar feit”. Bagi saya membuktikan suatu dakwaan adalah membuktikan tindak pidana dan bukan membuktikan perbuatan semata. Tahapan ini belum merupakan suatu “pengkualifikasian” karena belum berkenaan dengan penilaian tentang “tingkatan” atau “derajat” atau “batasan” tententu. Sesungguhnya perbuatan itu tidak bertingkat-tingkat atau berwarna-warni. Kesalahanlah yang bertingkat-tingkat atau berwarna-warni. Jadi mengkualifikasikan sesuatu adalah menentukan tingkatan sesuatu. Sungguh sifat itu tidak ada pada “perbuatan”, tetapi justru adanya pada “kesalahan”. Perbuatan hanya merujuk pada persoalan dilarangnya hal itu oleh undang-undang. Sedangkan sengaja atau alpa yang bersifat hirarkhis, begitu pula hal itu bermula dari  kesengajaan karena kepastian dan kemudian degradasinya berbatasan dengan kesengajaan karena kemungkinan, yang bertepi pada kealpaan yang disadari dan berujung pada kealpaan yang tidak disadari, menunjukkan terhadap tingkatan-tingkatan dan warna-warna tersendiri atas kesalahan. Penentuan kesalahan adalah pengkualifikasian tentang tingkat ketercelaan seseorang karena perbuatannya.

               Perbuatan sama sekali tidak bertingkat-tingkat apalagi berwarna-warni. Selagi pembentuk undang-undang menyatakannya sebagai terlarang, maka derajatnya sama, sebagai tindak pidana, apapun alasan pelarangannya. Dewasa ini mala in se (rechtsdelic) dan mala in prohibita (wetsdelic) tidak lagi   dapat dijadikan ukuran tentang “kualifikasi” suatu perbuatan. Pokoknya semuanya itu adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melakukannya. mala in se (rechtsdelic)  juga harus dilarang dengan undang-undang, dan tidak dapat begitu saja dipandang sebagai delik tanpa ketentuan undang-undang, sekalipun perbuatan-perbuatan itu “dari sananya” jahat. Jadi penilaian tentang perbuatan, termasuk tindak pidana, antara yang dipandang terbukti telah terjadi dengan unsur-unsur suatu tindak pidana adalah tahapan konstatasi atas satu nafas yang tidak terpisahkan. 

7.    Hakim Harjono dalam dissenting opinion Putusan 114/PUU-X/2012 yang menguji pasal 244 KUHAP menyatakan sebagai berikut:
Dengan demikian jelas bahwa KUHAP membedakan antara kedua hal
tersebut. Pasal 191 ayat (1) berkaitan dengan pembuktian di dalam persidangan yang tidak dapat membuktian bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan, sedangkan yang ayat (2) dalam persidangan terbukti terdakwa melakukan perbuatan tetapi perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana. Inti dari perbedaan tersebut menyangkut dua hal yang pertama masalah fakta (a question of fact), sedangkan yang kedua adalah persoalan hukum (a question of law).
sejalan dengan hal tersebut, Bapak juga berpendapat dalam jawaban nomor 1 diatas sbb:
Putusan bebas merupakan kesimpulan Hakim atas penilaian fakta-fakta yang terungkap di sidang pengadilan, sedangkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum seharusnya merupakan masalah penilaian hukumnya. Jadi putusan bebas masalah fakta sedangkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum merupakan masalah hukum
            Pertanyaannya adalah :
a.    Apakah yang dimaksud dengan “masalah fakta” dan “masalah hukum” itu?
b.    sebagaimana Bapak sampaikan dalam jawaban nomor 5 “...Sementara itu dalam contoh yang kedua, persoalan pokoknya pada penafsiran hakim tentang apa yang dimaksud perbuatan “mengambil” atau “barang”. Disini, masih masuk tahap konstatasi, yaitu mempertimbangkan apakah tindak pidana yang didakwakan terbukti atau tidak..”. apakah dengan demikian masalah penafsiran hakim tentang maksud dari suatu unsur dalam rumusan tindak pidana yang didakwakan itu merupakan persoalan fakta? dan persoalan hukum dalam perkara pidana hanya mengenai kesalahan terdakwa saja? Apakah alat bukti menjadi sarana dalam hakim menafsirkan suatu ketentuan atau sarana dalam menentukan ada tidaknya perbuatan yang diduga sebagai perbuatan pidana?
------7. Adapun jawaban saya adalah sebagai berikut:
a.    Betul saya berpendapat mirip dengan Yang Mulia Hakim Konstitusi Harjono, walaupun pandangan saya itu jauh sebelum adanya putusan MK dimaksud. Masalah fakta adalah masalah pencocokan antara uraian dakwaan tentang suatu tindak pidana dengan  fakta-fakta yang didasarkan pada alat-alat bukti.  Disini hakim memadupadankan antara perbuatan dalam tataran norma dan perbuatan dalam tataran fakta. Apabila berkesesuaian, maka masalah fakta itu menjadi sesuatu yang terbukti. Sedangkan masalah hukum adalah masalah perefleksian antara pandangan umum tentang ketercelaan suatu tindak pidana terhadap  seseorang yang melakukan tindak pidana itu. Disini perefleksian dimaksud dilakukan dengan cermin yuridis. Bukan berarti hakim harus mengadakan polling tentang ketercelaan suatu kelakuan yang didakwakan terhadap seseorang, tetapi hakim cukup menggunakan piranti lunaknya untuk mempertimbangkan batasan, ukuran atau tingkat  ketercelaan dimaksud. Makanya dalam hal ini  kacamata yuridis hakim menjadi perspektif yang dipandang mewakili kemauan dan harapan masyarakat.

b.    Betul, penafsiran adalah masalah fakta. Disini hakim menafsirkan bukan terlepas dengan konteks fakta, tetapi untuk menjawab pertanyaan tentang dilarang tidaknya suatu fakta perbuatan. Penafsiran yang dilakukan oleh hakim, tidak ada artinya jika tidak mengkait dengan fakta yang dipersengketakan. Jadi hakim disini mencocokkan norma dengan fakta, dimana makna yang digunakannya boleh jadi bukan makna leksikon lagi, sehingga telah menjadi suatu penafsiran. Persoalan hukum dalam perkara pidana tentunya tinggal penilaian tentang kesalahan. Hakim menuntun refleksinya dengan rasa keadilan yang dimilikinya. Hukum  adalah anak kandung dari   keadilan, sehingga adil tidaknya penilaian hakim sangat tergantung dari mampu tidaknya mengukur tingkat ketercelaan (jika memang ada) pada diri seseorang. Disini persolan pengukuran keadilan yang oleh Sudikno dipandang sebagai tahap pengkualifikasian tersebut memusat pada persoalan kesalahan terdakwa atas tindak pidana yang didakwakan. Persoalannya bukan lagi terbukti atau tidak, karena hal  itu merupakan persoalan fakta, tetapi tercela atau tidak, dan ini persoalan hukum. Keseluruhan alat bukti yang membutikan unsur-unsur tindak pidana pidana, secara tidak langsung menggambarkan celaan objektif terhadap suatu perbuatan, yang kemudian apakah hal itu seharusnya diteruskan secara subyektif kepada pembuatnya. Intuisi hakim lebih dominan dalam hal ini, yang merupakan kelanjutan dari perspektifnya ketika hakim itu menyatakan tindak pidana yang didakwakan telah terbukti.

8.    Kapan suatu perbuatan harus dipastikan sebagai perbuatan pidana? Waktu di tahap penyidikan dan penuntutan ataukah ketika di persidangan? Tidakah cukup jika penyidik dan penuntut umum menduga (kata “duga” bersinonim dengan “dakwa” dan juga “tuduh”) suatu perbuatan itu sebagai tindak pidana dan melimpahkan kepada Hakim untuk memastikan dugaan mereka bahwa suatu perbuatan itu sebagai tindak pidana sehingga penentuan tindak pidana atau tidaknya dipastikan di Pengadilan?
----8. Pada dasarnya pada setiap tahapan, yaitu mulain dari penyidikan sampai pemeriksaan dimuka sidang pengadilan, suatu tindak pidana tengah dipastikan. Perbedaannya bukan pada dimensi “apa”, tetapi berkenaan dengan “bagaimana” hal itu dilakukan. Jadi perbedaan penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan dalam memastikan ada tidaknya suatu tindak pidana, berbeda tentang cara dan pendekatan yang dilakukan, sementara objek yang dipastikan itu tidak ada beda, yaitu suatu tindak pidana. Makanya Mahkamah Kontitusi tidak lagi membedakan apa yang dimaksud “bukti”, “bukti permukaan”, atau “alat bukti”, kesemuanya sama dalam bentuknya tetapi cuma berbeda kekuatannya (kualitasnya)  karena berhubungan dengan cara pemerolehan dan tahap penggunaannya yang berbeda.
          
Penyidik tidak cukup menduga saja, atau  penuntut umum belum selesai tugasnya ketika telah mendakwa saja, melainkan juga harus membuktikannya. Pembuktian bukan hanya di muka sidang pengadilan, tetapi penyidik untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya juga membuktikan suatu tindak pidana, ketika mempersangkakan hal itu kepada seseorang, dan penuntut umum juga membuktikan bahwa hal itu telah terjadi sehingga membawanya ke pengadilan dengan membuat surat dakwaan, dan tentunya hakim juga  “membuktikan” tentang kebenaran dakwaan dimaksud dengan kemudian pada akhirnya mengambil kesimpulan apakah yang bersangkutan bersalah karenanya.
 
9.    Menarik sekali pemaparan Bapak tentang Arrest HR terkait penjual susu. Terkait kesalahan ini, ada juga kasus yang menjadi data saya yang ringkasnya sbb: seorang anak (A) dipaksa dengan ancaman akan dibunuh oleh seseorang bernama B untuk membeli Ganja. Setelah berkali-kali diancam dan diteror akhirnya A mau membelikan ganja kepada seseorang di suatu tempat. Belum sempat ganja diserahkan A kepada B, A ditangkap polisi dalam keadaan menguasai Ganja. Dari alat-alat bukti hakim yakin perbuatan A membeli ganja dan menguasainya terbukti dan mengkualifikasinya sebagai tindak pidana dalam UU Narkotika. Tetapi hakim berpendapat ada daya paksa dalam perbuatan itu sehingga Terdakwa tidak dapat dipidana karena tidak memiliki kesalahan. Yang menarik dalam pertimbangannya, hakim tetap berpendapat bahwa daya paksa yang ada pada perbuatan A tidak menyebabkan perbuatan yang dilakukan A kehilangan sifat melawan hukum sehingga dapat dikatakan perbuatan A adalah tindak pidana tetapi A tidak memiliki kesalahan. Artinya perbuatan pidana dipisah dari kesalahan pidana sebagaimana dikehendaki oleh ajaran dualistis. Tetapi anehnya dalam amar putusannya hakim menyatakan “perbuatan terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu tidak tindak pidana” dan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Tampak jika dari amar itu hakim memaksakan untuk menyesuaikan dengan bunyi ketentuan pasal 191 ayat (2) KUHAP agar dapat menjatuhkan putusan lepas.

Pertanyaannya:
Apakah pertimbangan hakim ketika “menafsirkan” perbuatan terdakwa tetap sebagai tindak pidana meskipun kesalahan terdakwa tidak ada berada dalam tahap konstatasi atau dalam tahap kualifikasi?

-----9. Pertimbangan hakim tersebut benar dan tepat. Saya menyetujuinya. Kemudian mengapa akhirnya putusannya menggunakan Pasal 191 ayat (2) KUHAP, dan menyatakan bahwa perbuatan terbukti tetapi tidak tindak pidana, semata-mata karena hakim “terpaksa” menggunakan pasal yang rumusannya tidak tepat tersebut, untuk mendapatkan konstitusi yang tepat. Tokh hakim telah melepaskan A dari segala tuntutan hukum, yang bagi saya penganut dualistis, menunjukkan hakim dimaksud memahami bahwa A tidak dapat berbuat lain sehingga melakukan perbuatan yang tidak lahir dari kehendak bebasnya. Mengenai hal terakhir ini sudilah pak Wahyu mengirimkan kepada saya putusan dimaksud, setidak-tidaknya menyebutkan nomor dan tanggalnya. Wallahualam. 



[1] Sudikno Mertokusumo, 1988, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogjakarta, hlm. 92-94.