12 Oktober 2015

Kekhilafan Dalam Pajak Dan Pidana

Tinjauan dari Aspek Hukum Pidana  tentang Pengertian “KEKHILAFAN” dan perbedaannya dengan  “KESENGAJAAN” atau “KESALAHAN”  dikaitkan dengan Peraturan Perundang-Undangan dibidang Perpajakan

oleh: Dr. CHAIRUL HUDA, S.H., M.H.

 Pengantar

            Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan RI No. 9/PMK.03/2015 tanggal 30 April 2015, memuat ketentuan yang sangat penting bagi Wajib Pajak, yaitu:

“Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan Sanksi Administrasi dalam hal Sanksi Administrasi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya”

Ketentuan ini sepertinya merupakan pengejawantahan Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 6 Tahun 1983  Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Sebagaimana Terakhir Diubah Dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000, yaitu:    

(1) “Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau permohonan Wajib Pajak   dapat:
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan  dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya”


Pada satu sisi ketentuan ini menggambarkan adanya “kewenangan” yang sifatnya atributif dari Direktur Jenderal Pajak, tetapi pada sisi yang lain juga menggambarkan adanya “hak” Wajib Pajak untuk mengkoreksi sanksi administrasi perpajakan. Namun kedua aspek tersebut bukanlah titik berat pembahasan yang dimintakan oleh penyelenggara Seminar Perpajakan ini, selain juga bukan persoalan yang bersentuhan langsung berkenaan dengan Hukum Pidana, kecuali karena pelaksanaan kewenangan itu seorang mantan Dirjen Pajak ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, yang sekarang telah dibatalkan status tersangkanya tersebut oleh Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Melainkan yang dimintakan untuk dibahas pada kesempatan kali ini adalah berkenaan dengan penggunaan istilah “kekhilafan” dan “kesalahan”. Barangkali Hukum Pidana adalah sub disiplin Ilmu Hukum yang paling banyak membahas tentang “kekhilafan” dan “kesalahan”. Diantara kedua istilah tersebut masih ada lagi istilah “kelalaian” atau “kealpaan” dan juga tentunya  istilah “kesengajaan” yang juga menjadi pusat perhatian dari Ilmu Hukum Pidana itu. Hal inilah yang dimintakan untuk dibahas, dengan mengkaitkannya dengan penggunaan istilah serupa dalam Hukum Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 6 Tahun 1983  Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Sebagaimana Terakhir Diubah Dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 jo Peraturan Menteri Keuangan RI No. 9/PMK.03/2015 tanggal 30 April 2015.


Pengertian dan Ruang Lingkup “Kekhilafan” dan “kesalahan” dari segi Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan

Pada dasarnya  “kekhilafan” sesuatu yang cukup sukar untuk ditentukan batas-batasnya, apabila dikaitkan dengan “kelalaian”, “kealpaan”, “kesengajaan” atau “kealpaan”. Kerapkali penggunaan istilah ini dalam peraturan perundang-undangan, membuka subyektivitas dari pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk Dirjen Pajak atau pejabat fiskus lainnya.  
Pada dasarnya peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan telah memberikan sejumlah isyarat berkenaan dengan pengertian kedua istilah tersebut. Pengertian “kekhilafan” misalnya, secara implisit disebutkan dalam Penjelasan  Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 6 Tahun 1983  Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Sebagaimana Terakhir Diubah Dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000, yang antara lain menyebutkan bahwa ketentuan ini untuk melindungi Wajib Pajak yang  “tidak memahami peraturan perpajakan”.  Maksudnya, boleh jadi sanksi administrasi yang dikenakan kepada wajib pajak dipandang “tidak adil” oleh Dirjen Pajak, sehingga perlu dikoreksi, yang diantaranya karena ada kekeliruan pemahaman tentang ketentuan perpajakan yang dialami oleh Wajib Pajak. Dalam hal ini Wajib Pajak dipandang gagal dalam menjalankan kewajiban administrasinya secara self-assesment karena diakibatkan ketidakpahaman atau ketidaktahuan Wajib Pajak terhadap peraturan perpajakan itu sendiri.
Berkenaan dengan hal itu, undang-undang memberikan wewenang kepada Dirjen Pajak, sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 6 Tahun 1983  Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Sebagaimana Terakhir Diubah Dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 jo Peraturan Menteri Keuangan RI No. 9/PMK.03/2015 tanggal 30 April 2015, untuk “menguji”, baik karena jabatannya ataupun karena dimohonkan oleh Wajib Pajak, dari sisi finansial, sosial, moral dan hukum,  apakah Wajib Pajak dapat diminta pertanggungjawaban atas kekeliruan pemahamannya itu. Dalam hal Dirjen Pajak memandang bahwa Wajib Pajak tidak patut dipertanggungjawabkan atas hal itu, maka disini dipandang terdapat “kekhilafan” pada wajib pajak dimaksud.
Berbeda dengan “kekhilafan” dalam peraturan perpajakan yang memang tertuju pengertiannya pada Wajib Pajak, maka berkenaan dengan “kesalahan” justru isyarat tentang pengertian ini tidak tertuju pada Wajib Pajak, melainkan pada Petugas Pajak (fiskus). Dalam hal ini tersirat dari digunakannya istilah yang dirumuskan secara negatif, yaitu “bukan karena kesalahannya”, baik dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan RI No. 9/PMK.03/2015 tanggal 30 April 2015 maupun    Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 6 Tahun 1983  Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Sebagaimana Terakhir Diubah Dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000.
Dalam hal ini pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi perpajakan dapat dilakukan jika pengenaan sanksi itu dipandang bukan karena kesalahan Wajib Pajak, tetapi karena “ketidaktelitian petugas pajak”. Dirjen pajak dalam hal ini berwenang mengkoreksi penetapan sanksi admistrasi perpajakan yang telah ditetapkan bawahannya, karena Wajib Pajak telah terbebani lebih daripada yang diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini  secara implisit disebutkan dalam Penjelasan  Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 6 Tahun 1983  Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Sebagaimana Terakhir Diubah Dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 bahwa “sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak”.
Wewenang atributif Dirjen Pajak untuk mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi hanya dapat dilakukan karena alasan “kekhilafan” atau “bukan kesalahan” Wajib Pajak.  Selain karena alasan tersebut maka pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Sebenarnya, termasuk dalam pengertian “bukan karena kesalahannya” disini juga ketidaktelitian pihak lain selain Wajib Pajak, misalnya ketidaktelitian Konsultan Pajak, atau mitra bisnis Wajib Pajak yang mempunyai kaitan dengan pemungutan pajak yang dilakukan terhadap transaksi bisnis Wajib Pajak. Namun sayangnya hal ini tidak termasuk dalam pengertian perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pengertian  dan Ruang Lingkip “Kekhilafan”, “kelalaian”, “kesengajan” dan “kesalahan” dari segi Hukum Pidana

            Sepertinya “kekhilafan” yang dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan RI No. 9/PMK.03/2015 tanggal 30 April 2015 maupun  Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 6 Tahun 1983  Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Sebagaimana Terakhir Diubah Dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000, mempunyai cakupan “yang lebih sempit” dari hal serupa yang berkembang dalam Hukum Pidana. Dalam hal ini Hukum Pidana, mengenai dua bentuk “kekhilafan”, yaitu “kekhilafan tentang fakta” (mistake of fact) dan “kekhilafan tentang hukum” (mistake of law). Umumnya di banyak negara, terutama di negara-negara common law system, kedua bentuk kekhilafan ini dijadikan alasan-alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgronden).
            Dikatakan ada “kekhilafan terhadap fakta” jika seseorang keliru memahami fakta yang ada disekitarnya, sehingga mendorongnya melakukan suatu perbuatan. Misalnya, ketika seseorang memasuki rumahnya ketika dalam keadaan gelap gulita akibat pemadaman lampu listrik, dengan berbekal ingatannya tentang keadaan rumah itu, yang bersangkutan berjalan menuju kamarnya dan pada saat itu dia mendapati perempuan yang diduga istrinya dikamar itu. Lantas mencium dan memeluknya. Ternyata perempuan itu bukan istrinya, melainkan adik iparnya yang kebetulan datang berkunjung. Perbuatan laki-laki itu tidak dapat dipandang sebagai perbuatan pencabulan, karena adanya mistake of fact. Demikian pula seseorang yang berpisah dengan saudara kandungnya dalam jangka waktu yang lama, dan kemudian menikah tanpa menyadari bahwa mereka adalah saudara kandung, tidak dapat dipandang sebagai incest karena adanya mistake of fact.
            Dalam bidang perpajakan tampaknya mistake of fact tidak dipandang sebagai “kekhilafan”. Kekeliruan dalam melakukan perhitungan-perhitungan berkenaan dengan jumlah pajak yang harus dibayarkan, misalnya karena terdapat data yang tidak akurat karena sistem laporan yang tidak komprehensif, tidak dapat dipandang sebagai bentuk “kekhilafan”. Demikian juga segala bentuk keterlambatan, seperti keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak, keterlambatan  pembetulan ataupun keterlambatan pembayaran, semuanya tidak dapat dipandang sebagai “kekhilafan”.  Apalagi berkenaan dengan rekayasa dokumen dalam suatu tax planning, tentu hal ini sudah merupakan “kesengajaan” untuk menyampaikan surat pemberitahuan pajak yang tidak sesuai dengan kenyataan yang seharusnya.
            Kesengajaan dalam Hukum Pidana tertuju pada “kesadaran” atau “pengetahuan’ (willen en wettens) seseorang ketika melakukan perbuatan. Baik sebagai yang harus dilakukannya maupun kemungkinan yang dapat dipastikan timbul dari perbuatannya. Rekayasa dokumen dalam suatu tax planning justru menunjukkan bahwa seseorang Wajib Pajak menyadari dan mengerti bahwa laporan pajak yang disampaikannya bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya, sehingga hal ini jelas bukan “kekhilafan”.
            “Kekhilafan” dalam perpajakan boleh jadi dapat dipersamakan dengan “kekhilafan terhadap hukum”. Hal ini terkait dengan sistem perpajakan yang bersifat “self assessment”, yang mempercayakan perhitungan (awal) tentang jumlah pajak yang harus dibayarkan dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak. Dalam Hukum Pidana  mistake of law adalah keadaan dimana seseorang dipandang keliru mengenai hukum yang berlaku baginya. Hukum diterapkan dengan asumsi “setiap orang dipandang tahu tentang hukum, ketika hal itu telah diundangkan”. Oleh karena itu, adakalanya orang berbuat sesuatu yang dilarang tanpa mengetahui tentang keterlarangan hal itu. Misalnya, seseorang yang baru sampai di kampung halamannya, yang tidak mengetahui bahwa telah berlaku jam malam di wilayah itu,  dapat dimaafkan karena melanggar jam malam dalam Hukum Pidana.
            Demikian pula halnya dengan dalam bidang perpajakan, perubahan-perubahan peraturan dapat menyebabkan seseorang keliru dalam menyampaikan laporan pajaknya, dan hal ini dipandang sebagai suatu “kekhilafan” yang dapat memaafkan Wajib Pajak tersebut, sehingga kalaupun sempat dijatuhi sanksi administratif, Dirjen Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskannya sama sekali.
            Berbeda dengan “kesalahan” yang dimaksud dalam peraturan perpajakan yang tertuju pada “ketidaktelitian”,  kesalahan dalam hukum pidana mencakup hal yang lebih luas lagi. Dalam Hukum Pidana “ketidaktelitian” merupakan salah satu indikator dari adanya “kelalaian” atau “kealpaan”. Dikatakan orang, lalai itu “tidak berhati-hati sebagaimana orang lain diwajibkan berhati-hati”. Dalam hal ini disadari ataupun tidak disadari, seseorang telah sangat ceroboh atau sembrono sehingga menimbulkan keadaaan terlarang. Namun demikian, jika dalam Hukum Pidana “ketidaktelitian” itu tertuju pada “pelaku” kejahatan, yang  dalam perpajakan dapat disepadankan pada Wajib Pajak, tetapi “ketidaktelitian” itu tertuju pada Petugas Pajak, yang bertanggungjawab meneliti laporan perpajakan yang disampaikan Wajib Pajak.
Dalam Hukum Pidana “kesalahan” dipahami secara evolutif dari masa ke masa. Pada fase awal, telaah tentang kesalahan ditempatkan sebagai konsep moral. Dalam hal ini menjadi tidak berlandaskan moral apabila orang buta yang melakukan perbuatan dalam kebutannya, anak-anak yang belum dapat membedakan patut tidaknya suatu perbuatan, dan tentunya orang-orang yang memiliki gangguan kejiwaan yang melakukan tindak pidana dipandang memiliki kesalahan. Kesalahan dipandang tidak terdapat dalam diri mereka itu, sebagai suatu keadaan yang diberikan oleh Tuhan.
Pada fase berikutnya, diskusi mengenai kesalahan terutama menentukan kriteria dapat dipidananya pembuat tindak pidana. Dalam hal ini kesalahan menjadi dasar dari dapat dipidananya pembuat tindak pidana. Keadaan jiwa yang normal (mampu bertanggung jawab), melakukan perbuatan itu dengan salah satu bentuk kesalahan (dengan sengaja atau karena kealpaannya), dan keadaan lingkungan yang normal (tidak ada alasan pemaaf) menjadi kriteria kumulatif untuk dapat dicelanya seseorang karena tindak pidana yang dilakukannya.
Fase ketiga pembahasan mengenai kesalahan terutama berkenaan dengan tantangan dapat dicelanya korporasi karena melakukan tindak pidana. Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana, karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut. Dalam hal ini korporasi dipandang salah karena tidak menyelenggarakan kegiatannya sesuai dengan harapan masyarakat (unzumuthbarkeit), yang sejauh mungkin menghindari timbulnya keadaan terlarang, dengan membuat standard of care dalam kegiatannya, yang menjadi kewajiban suatu korporasi tersebut,  yang diperlukan untuk menentukan kesalahan korporasi itu. Terbentuknya kesalahan karena tindak pidana sebenarnya dapat dihindari oleh pembuat, jika pikirannya memang ditujukan terhadap hal itu. Dapat dicelanya pembuat karena sebenarnya tindak pidana tersebut dapat dihindari. Tentunya pembuat tidak dapat dicela jika tindak pidana tidak dapat dihindari olehnya.
  Dengan demikian, pembuat berkewajiban untuk menghindari timbulnya keadaan terlarang, dengan kriteria: pertama,  pada pembuat timbul kewajiban untuk mengenal resiko suatu perbuatan tertentu untuk kepentingan yang dilindungi oleh norma yuridis dan menilainya dengan baik. Dengan kata lain, pembuat juga memahami dampak dari perilakunya. Kedua, pembuat harus mempunyai ketelitian lahir, guna mencegah datangnya dampak tidak diingankan dalam batas-batas kemampuan. Termasuk didalamnya menjauhi perbuatan-perbuatan berbahaya, meninggalkan perbuatan-perbuatan yang dituntut kemahiran untuk melakukannya, bertindak hati-hati dalam situasi berbahaya, dan mengadakan persiapan-persiapan yang sungguh-sungguh sebelum bertindak dan berusaha mendapatkan informasi mengenai hal itu.
Berdasarkan uraian di atas, jika “bukan karena kesalahannya” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan RI No. 9/PMK.03/2015 tanggal 30 April 2015 maupun Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 6 Tahun 1983  Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Sebagaimana Terakhir Diubah Dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000, secara a contrario digunakan terhadap wajib pajak, maka hal itu dapat diartikan adanya indikator-indikator sebagai berikut:
a.    Wajib Pajak telah berusaha menghindari resiko menimbulkan keadaan terlarang, yaitu melakukan tindakan yang dapat dikenakan sanksi administrasi, dengan memperhatikan prinsip-prinsip good corporate governace;
b.    Wajib Pajak telah sedapat mungkin mengetahui dengan baik seluruh ketentuan perpajakan yang berlaku baginya, termasuk dengan memberdayakan Tax Consultant atau Tax Lawyer untuk membantunya menyusun laporan pajak;
c.    Wajib Pajak telah memiliki  standard of care dalam menyiapkan tax planning, yang diantaranya menentukan ketelitian lahir dalam penyusunan laporan pajaknya;