29 Agustus 2016

EKSEKUSI PIDANA MATI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 107/PUU-XIII/2015



Pengantar
Dr. Chairul Huda, S.H.,M.H.
Eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dalam perkara pidana menjadi tugas dan kewenangan Jaksa pada Kejaksaan Republik Indonesia, seperti yang diamaanatkan KUHAP dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Pelaksanaan tugas dan kewenangan mengeksekusi putusan kerap mendapat perhatian masyarakat, terlebih-lebih berkenaan dengan eksekusi mati.  Kontroversi berkenaan pidana mati rupanya melebah hingga eksekusianya, dan bukan semata-mata dalam ranah legislative and judicatice policy. 
 Persoalan ini semakin riuh setelah Mahkamah Konsititusi mengeluarkaan Putusan Nomor: 107/PUU-XIII/2015. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi menghapuskan ketentuan pengajuan grasi yang hanya dapat dilakukan dalam kurun waktu 1 (satu) tahun sejak putusan pidana mati berkekuatan hukum tetap. Padahal Undang-Undang No. 22 tahun 2002 tentang Grasi  sebagaimana diubaah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2010, menentukan bahwa pengajuan Permohonan Grasi menunda pelaksanaan putusaan pidana mati hingga Presiden memutuskan tentang diterima atau ditolaknya perohonan tersebut. Tentunya hal ini pada giirannya cukup berpengaruh terhadap Tugas Jaksa sebagai pelaksana putusan pidana mati yang telah berkekuatan hukum tetap. Tentunya pembahasan ini juga tidak terlepas sorotan tentang apaakah hal tersebut  dapat menjadi kendala dalam melakanakan  putusan  dimaksud, terutama karena adanya Putusan Mahkamah Konsititusi Nomor: 107/PUU-XIII/2015 tersebut.

19 Agustus 2016

Kesengajaan Dalam Penyertaan



Dr. Chairul Huda, S.H., M.H.
Pada masa sekarang terdapat kecenderungan bahwa umumnya pengujudan suatu tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi, dengan melibatkan lebih dari satu orang. Padahal umumnya rumusan delik itu hanya dipersiapkan untuk pembuat tunggal, sehigga ketentuan tentang penyertaan  (deelneming), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan 56 KUHP menjadi sangat strategis. Ketentuan tersebut itulah yang menyebabkan mereka yang bukan pelaku langsung dapat dipandang juga karena  telah “melakukan tindak pidana”. Mereka yang “menyuruh melakukan”, “menganjurkan”, ataupun  “turut serta melakukan” tindak pidana itu, juga dipandang melakukan delik itu dan dapat dipidana yang sama dengan mereka yang “melakukan”. Belum lagi mereka yang “membantu melakukan” suatu delik, juga dipandang telah melakukan tindak pidana, sekalipun pidana yang dapat dijatuhkan padanya sedikit lebih ringan (dikurangi sepertiga), kecuali dalam tidak pidana berat seperti makar, korupsi dan terorisme dapat dipidana yang sama dengan pembuat materielnya.
          Persoalan pokok yang hingga kini selalu menjadi masalah dalam praktek adalah “bentuk kerjasama” diantara mereka dan “persyaratan dapat dipertanggungjawabkannya” para peserta karena perbuatannya itu. Terutama  dalam penyertaan itu yang berupa “turut serta melakukan” atau “medeplegen”, yang sekarang   ini makin kabur batas-batasnya. Kesesatan yang paling menonjol berkenaan mengenai “turut serta” adalah  menyamaartikan hal itu dengan “bersama-sama” melakukan delik. Tidak dinilai adanya kesamaan kualitas personal atau tidak diantara mereka, dengan berada dalam rangkaian terjadinya delik, perannya besar atau kecil, serta  disadari atau tidak berada dalam rangkaian delik itu, mereka semua dipidana dengan perantaraan Pasal 55 KUHP tersebut.  Pasal ini telah dijadikan dasar menjatuhkan pidana (strafausdehnungsgrunde), dan bukan dasar menentukan apakah yang bersangkutan melakukan tindak pidana (taatbetandausdehnungsgrunde) dan dapat dipersalahkan atas hal itu (schuldausdehnungsgrunde). Tidak mengherankan kalau pengadilan, terutama Pengadilan Tipikor, dituding sebagai “tempat menghukum”, dan bukan “tempat mengadili”. Pengadilan bukan lagi menjadi “tempat memisahkan orang tidak bersalah dari orang-orang yang bersalah”, tetapi telah menjelma menjadi “tempat menghukum mereka yang diajukan sebagai terdakwa”.
          Dalam penyertaan yang berbentuk turut serta melakukan, kerjasama antara mereka yang melakukan (pleger) dan mereka yang turut serta melakukan (medepleger) mutlak adanya. Dengan kata lain, hanya dengan adanya kerjasama itu delik dapat diujudkan atau tanpa kerjasama itu delik tidak akan terjadi. Para penulis menggunakan istilah “kerjasama yang erat” untuk menggambarkan hal itu, sekalipun diakui pula tidaklah semua mereka harus mengujudkan perbuatan secara bersama-sama dan berada pada tempat yang sama. Pendek kata, mereka “bekerja bersama-sama” dan “sama-sama bekerja” untuk mengujudkan delik itu. Dalam delik suap misalnya, jika pemberian suap  dilakukan oleh beberapa orang, maka masing-masing memainkan peranan penting dalam mengujudkan hal itu.  Dikatakan peranan penting disini tentunya perbuatan yang memiliki kontribusi significant terhadap terpenuhinya unsur  “memberi atau menjadikan sesuatu” kepada penerima suap. Dalam hal ini “deal”, “kesepakatan” atau “janji” memberikan sesuatu atau hadiah itu, karena mereka sepenuhnya berbuat untuk itu. Jika kesepakatan dengan penerima suap hanya dibuat oleh seorang saja, sementara yang lain tidak ambil bagian atas hal itu, maka penyertaan menyuap belum ada, melainkan penyuapan dengan pemberi suap tunggal.
          Selain itu,  kerjasama yang erat saja belum cukup untuk dapat memidana peserta delik. Kerjasama tersebut harus lahir dari kesadaran atau pengetahuannya (willen en wettens). Dengan kata lain, kerjasama dalam penyertaan harus dilakukan dengan kesengajaan (opzettelijke).  Seorang pengemudi taksi yang mengantar penumpangnya ke sebuah mini market, lalu penumpang  tersebut tanpa sepengetahuan pengemudi taksi ternyata merampok kasir mini market itu, dan melarikan diri dengan menumpang taksi yang mengantarnya itu, tidak dapat dipandang adanya kesengajaan  bekerjasama melakukan pencurian dengan pemberatan.    Secara lahiriah memang terlihat ada kerjasama diantara mereka, tetapi dilihat dari segi bathinnya si pengemudi taksi hal itu bukan karena kesadaran atau pengetahuannya (willen en wettens). Tidak ada pemahaman dan keinsyafan bagi pengemudi taksi bahwa perannya mengemudikan mobil menuju dan dari tempat kejadian perkara (crime scene) tersebut, dimaksudkan sebagai perbuatan ambil bagian dari kejahatan penumpangnya. Kerjasama antara pengemudi dan penumpang taksi tersebut bukan suatu hal yang disengaja oleh pengemudi taksi, maka tidak ada kesalahan baginya (zonder schuld).
          Dalam kasus penyuapan, jika pemberian suap (actieve omkoping) terkait dengan beberapa orang, maka kesepakatan yang dibuat salah satu diantara mereka dengan penerima suapnya, harus merupakan suatu hal yang disadari dan diketahui mereka yang lain. Dalam banyak kejadian, yang terjadi justru terputusnya hubungan kerjasama itu dengan kesengajaannya. Dalam pikiran mereka yang menyediakan atau memberikan dana dimaksud, sama sekali bukan  bagi kepentigan penyuapan, namun jelas-jelas dana yang digunakan untuk menyuap berasal darinya. Dalam hal ini tidak terbatahkan adanya kerjasama diantara mereka, tetapi tidak ada kesengajaan bagi penyandang dananya bahwa kontribusi yang disediakan atau diberikannya itu untuk kepentingan suatu delik.
Selanjutnya, setelah dapat dibuktikan adanya kesengajaan dalam berkerjasama dalam penyertaan, maka hal itu juga harus diikuti dengan kesengajaaan terhadap kejahatannya itu sendiri. Dalam literatur Hukum Pidana dikatakan hal itu sebagai “kesengajaan ganda” atau “double opzet”. Kesengajaaan pertama, tadi tertuju pada kepada kerjasamanya, yaitu adanya kesadaran atau pengetahuan dari mereka yang terlibat atas suatu kerjasama diantara mereka. Kesengajaaan kedua tertuju kepada kejahatannya itu sendiri, yatu kesadaran atau pengetahuan dari mereka bahwa keterlibatan mereka semua dalam mengujudkan suatu kejahatan.
Dalam delik penyuapan, inisiatif dan tindakan tersebut tidak boleh datang dari salah satu pihak saja. Dengan demikian, sekalipun hal itu merupakan kepentingan beberapa orang secara bersamaan atau kepentingan orang yang bukan pelaku langsungnya, maka tetap harus dapat dibuktikan kesadaran bersama atas kehendak menyuap dalam hal ini. Dengan demikian, adanya kesamaan kepentingan diantara mereka dalam pemberian suap tidak serta merta dapat dipandang sebagai kesengajaan berkerjasama  dalam memberi suap. Adakalanya berbagai pihak belum benar-benar dapat dipandang sengaja turut serta melakukan kejahatan, karena sebenarnya bagian inti delik itu sendiri masih sangat jauh dari dapat diwujudkan. Beberapa orang menyiapkan sejumlah uang dan menyerahkan kepada seseorang untuk dipergunakan sebagai suap. Sementara orang yang dipercayakan itu belum  memiliki “deal”, “kesepakatan” atau “janji” dengan penerima suapnya. Katakanlah jika telah ada penangkapan terhadap  orang itu, maka dapat dipandang belum ada kesengajaan untuk turut serta melakukan penyuapan bagi penyedia dananya. Dalam banyak kejadian  mereka yang menyatakan mampu “memperatarai” penyuapan sebenarnya hanya berusaha memperdagangkan pengaruh (trading in inffluence) calon penerima.
Betapa pentingnya memahami   “bentuk kerjasama” dan “persyaratan dapat dipertanggungjawabkannya” para peserta delik. Tentunya hal itu untuk benar-benar memastikan bahwa pidana dijatuhkan kepada mereka yang telah melakukan tindak pidana (actus reus) dan bersalah karenanya (mens rea). Hanya dengan memisahkan kedua hal itu sebagai buah dari cara berfikir yang dualistis, maka pidana dapat dikenakan benar-benar terhadap orang yang memiliki kesalahan. Kesalahan yang memang dibuktikan, dan bukan sekedar diasumsikan ada di dalam tindak pidananya itu ssendiri (inheren), seperti selama ini menjadi cara gampang mereka yang berfikir monistis dalam melihat persoalan ini. Tidak mengherankan jika sekarang ini mereka yang menjadi terpidana banyak yang merasa sebagai orang yang terdzolimi, karena sebenarnya kesalahan mereka hanya berdasarkan asumsi-asumsi belaka. Wallahu’alam.

12 Agustus 2016

Percobaan Penyuapan



Dr. Chairul Huda, SH., MH.

Pada dasarnya delik suap tergolong sebagai delik berpasangan, yang tidak dapat dilakukan dalam bentuk perbuatan satu pihak, tetapi  harus perbuatan dua pihak sekaligus, yaitu: perbuatan  pemberi suap (actieve omkoping) dan perbuatan penerima suap (passieve omkoping). Dalam literatur delik suap digolongkan sebagai noodzakelijke deelneming (penyertaan mutlak perlu),   yaitu tindak pidana yang hanya dapat terjadi karena kepesertaan pemberi suap dan penerima suap secara sekaligus. Singkatnya, bukan delik suap jika perbuatan yang terjadi hanya perbuatan pemberi saja, dan tidak ada penerimanya, sebaliknya tidak mungkin sebagai suap jika hanya ada penerimanya saja tanpa pemberinya.


 Konsepsi ini berpengaruh dalam ranah praktek, yaitu tidak mungkin menuntut pemberi suap tanpa ada penerimanya. Dalam dakwaan harus terurai tentang peranan kedua belah pihak ini, baik pemberi maupun penerimanya, sekalipun yang sedang didakwa salah satu pihak saja. Dengan demikian, perbuatan yang harus dibuktikan penuntut umum pun, meliputi perbuatan pemberi dan perbuatan penerima.  Menjadi tidak logis jika dalam suatu peristiwa pidana suap menyuap, hanya “berhasil” di tangkap tangan pemberi suap, tanpa penerimanya. Lalu kemudian didakwa telah memberi suap, tanpa ada penerimanya. Kondisi ini menunjukkan suap belum terjadi, karena hakekat dari suap adalah perjumpaan kepentingan pemberi dan penerima.